Rabu, 28 Juni 2023

Dalil Maulid Nabi Muhammad SAW





ِسۡمِ ٱللهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ




                  Dalil Peringatan Maulid Nabi

         Dalil - dalil Peringatan / Perayaan Maulid Nabi SAW 

Banyak dalil yang bisa kita jadikan sebagai _dasar diperbolehkannya
memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW_, sebagaimana ada banyak alasan
dan argumentasi pula untuk tidak merayakan tradisi ini.


      Diantara dalil-dalil yang bisa kita jadikan sebagai dasar
      diperbolehkannya memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW adalah:


Firman Allah SWT:
*ﻗُﻞْ ﺑِﻔَﻀْﻞِ ﺍﻟﻠّﻪِ ﻭَﺑِﺮَﺣْﻤَﺘِﻪِ ﻓَﺒِﺬَﻟِﻚَ ﻓَﻠْﻴَﻔْﺮَﺣُﻮﺍْ ﻫُﻮَ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِّﻤَّﺎ ﻳَﺠْﻤَﻌُﻮﻥَ*

"Katakanlah: ‘Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu
mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik
dari apa yang mereka kumpulkan."(*QS.Yunus:58*).

Jadi, Allah SWT menyuruh kita untuk bergembira dengan rahmat-Nya,
sedangkan Nabi SAW merupakan rahmat yang terbesar, sebagaimana tersebut
dalam Al-Quran, "Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat
bagi semesta alam." (*QS Al-Anbiya’: 107*).

Dalam sebuah hadist disebutkan:

*وذكر السهيلي أن العباس بن عبد المطلب رضي الله عنه قال : لما مات أبو لهب
رأيته في منامي بعد حول في شر حال فقال ما لقيت
بعدكم راحة الا أن العذاب يخفف عني كل يوم اثنين قال وذلك أن النبي صلى
الله عليه وسلم ولد يوم الإثنين وكانت ثويبة بشرت أبا
لهب بمولده فاعتقها *
   As-Suhaeli telah menyebutkan” bahawa Abbas bin Abdul mutholibmelihat
abu lahab dalam mimpinya,dan Abbas bertanya padanya,"/Bagaimana
keadaanmu? Abu lahab menjawab, di neraka, cuma setiap senin siksaku
diringankan karena aku membebaskan budakku Tsuwaibah karena gembiraku
atas kelahiran Rasul saw./"(*shahih bukhari hadits no.4813, sunan
Baihaqi al-kubra hadits no.13701, syi’bul Iman no.281, fathul Baari
al-Masyhur juz 11 hal431*)

  Peringatan Maulid Nabi SAW adalah_ ungkapan kegembiraan dan kesenangan
dengan beliau. Bahkan orang kafir saja mendapatkan manfaat dengan
kegembiraan itu (Ketika Tsuwaibah, budak perempuan Abu Lahab, paman
Nabi, menyampaikan berita gembira tentang kelahiran sang Cahaya Alam
Semesta itu, Abu Lahab pun memerdekakannya sebagai tanda suka cita. Dan
karena kegembiraannya, kelak di alam baqa’ siksa atas dirinya
diringankan setiap hari Senin tiba.

  Demikianlah rahmat Allah terhadap siapa pun yang bergembira atas
kelahiran Nabi, termasuk juga terhadap orang kafir sekalipun. Maka jika
kepada seorang yang kafir pun Allah merahmati, karena kegembiraannya
atas kelahiran sang Nabi, bagaimanakah kiranya anugerah Allah bagi
umatnya, yang iman selalu ada di hatinya?

Beliau saw. sendiri mengagungkan hari kelahirannya dan bersyukur kepada
Allah pada hari itu atas nikmatNya yang terbesar kepadanya.

Rasulullah SAW merayakan kelahiran dan penerimaan wahyunya dengan cara
berpuasa setiap hari kelahirannya, yaitu setiap hari Senin Nabi SAW
berpuasa untuk mensyukuri kelahiran dan awal penerimaan wahyunya.

*ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲْ ﻗَﺘَﺎﺩَﺓَ ﺍﻷَﻧْﺼَﺎﺭِﻱِّ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻨْﻪُ: ﺃَﻥَّ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺳُﺌِﻞَ
ﻋَﻦْ ﺻَﻮْﻡِ ﺍﻟْﺈِﺛْﻨَﻴْﻦِ ﻓَﻘَﺎﻝَ” :ﻓِﻴْﻪِ ﻭُﻟِﺪْﺕُ ﻭَﻓِﻴْﻪِ ﺃُﻧْﺰِﻝَ ﻋَﻠَﻲَّ*
(ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ)

Dari Abi Qotadah al-Anshori RA sesungguhnya Rasulullah SAW pernah
ditanya mengenai puasa hari senin. Rasulullah SAW menjawab: Pada hari
itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku.(*H.R. Muslim*).

Firman Allah :
*وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ*
"Dan semua kisah dari rasul-rasul kami ceritakan kepadamu, ialah
kisah-kisah yang dengannya kami teguhkan hatimu." (*QS.Hud :120*)

Dari ayat ini nyatalah bahwa hikmah dikisahkannya para rasul adalah
untuk meneguhkan hati Nabi. Tidak diragukan lagi bahwa saat ini kita pun
butuh untuk meneguhkan hati kita dengan berita-berita tentang beliau,
lebih dari kebutuhan beliau akan kisah para nabi sebelumnya

  Peringatan Maulid Nabi SAW_ mendorong orang untuk membaca shalawat, dan
shalawat itu diperintahkan oleh Allah Ta’ala, Allah SWT berfirman:

*إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا
تَسْلِيماً*

"Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat atas Nabi. Wahai
orang-orang yang beriman,bershalawatlah kalian untuknya dan ucapkanlah
salam sejahtera kepadanya." (*QS Al-Ahzab: 56*).

 Apa saja yang mendorong orang untuk melakukan sesuatu yang dituntut oleh
syara’, berarti hal itu juga dituntut oleh syara’. Berapa banyak manfaat
dan anugerah yang diperoleh dengan membacakan salam kepadanya5.
Peringatan Maulid Nabi masuk dalam anjuran hadits nabi untuk membuat
sesuatu yang baru yang baik dan tidak menyalahi syari ‘at Islam.
Rasulullah bersabda:َ

*ﻣَﻦْ ﺳَﻦَّ ﻓﻲِ ﺍْﻹِﺳْـﻼَﻡِ ﺳُﻨَّﺔً ﺣَﺴَﻨـَﺔً ﻓَﻠَﻪُ ﺃَﺟْﺮُﻫَﺎ ﻭَﺃَﺟْﺮُ ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﺑِﻬَﺎ ﺑَﻌْﺪَﻩُ ﻣِﻦْ ﻏَﻴْﺮِ ﺃَﻥْ ﻳَﻨْﻘُﺺَ
ﻣِﻦْ ﺃُﺟُﻮْﺭِﻫِﻢْ ﺷَﻰْﺀٌ*

"Barang siapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebua perkara baik
maka ia akan mendapatkan pahala dari/

perbuatan baiknya tersebut, dan ia juga mendapatkan pahala dari orang
yang mengikutinya setelahnya, tanpa berkurang pahala mereka sedikitpun."
(*HR.Muslim dalam kitab Shahihnya*).

Hadits ini memberikan keleluasaan kepada ulama ummat Nabi Muhammad untuk
merintis perkara-perkara baru yang baik yang tidak bertentangan dengan
al-Qur ‘an, Sunnah, Atsar maupun Ijma’.

  Peringatan maulid Nabi adalah perkara baru yang baik dan sama sekali
tidak menyalahi satu- pun di antara dalil-dalil tersebut_. Dengan
demikian berarti hukumnya boleh, bahkan salah satu jalan untuk
mendapatkan pahala. Jika ada orang yang mengharamkan peringatan Maulid
Nabi, berarti telah mempersempit keleluasaan yang telah Allah berikan
kepada hamba-Nya untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik yang belum
pernah ada pada masa Nabi.

 Dalam peringatan Maulid disebut tentang kelahiran beliau,
mukjizat-mukjizatnya, sirahnya, dan pengenalan tentang pribadi beliau.
Bukankah kita diperintahkan untuk mengenalnya serta dituntut untuk
meneladaninya, mengikuti perbuatannya, dan mengimani mukjizatnya.

 Kitab-kitab Maulid menyampaikan semuanya dengan lengkap.Peringatan
Maulid merupakan ungkapan membalas jasa beliau dengan menunaikan
sebagian kewajiban kita kepada beliau dengan menjelaskan sifat-sifatnya
yang sempurna dan akhlaqnya yang utama.

 Dulu, di masa Nabi, para penyair datang kepada beliau melantunkan
qashidah-qashidah yang memujinya. Nabi ridha (senang) dengan apa yang
mereka lakukan dan memberikan balasan kepada mereka dengan
kebaikan-kebaikan. Jika beliau ridha dengan orang yang memujinya,
bagaimana beliau tidak ridha dengan orang yang mengumpulkan keterangan
tentang perangai-perangai beliau yang mulia. Hal itu juga mendekatkan
diri kita kepada beliau, yakni dengan manarik kecintaannya dan keridhaannya.

 Mengenal perangai beliau, mukjizat-mukjizatnya, dan irhash-nya
(kejadian-kejadian luar biasa yang Allah berikan pada diri seorang rasul
sebelum diangkat menjadi rasul), menimbulkan iman yang sempurna
kepadanya dan menambah kecintaan terhadapnya.

 Manusia itu diciptakan menyukai hal-hal yang indah, balk fisik (tubuh)
maupun akhlaq, ilmu maupun amal, keadaan maupun keyakinan. Dalam hal ini
tidak ada yang lebih indah, lebih sempurna, dan lebih utama dibandingkan
akhlaq dan perangai Nabi. Menambah kecintaan dan menyempurnakan iman
adalah dua hal yang dituntut oleh syara’. Maka, apa saja yang
memunculkannya juga merupakan tuntutan agama.

 Mengagungkan Nabi SAW itu disyariatkan. Dan bahagia dengan hari
kelahiran beliau dengan menampakkan kegembiraan, membuat jamuan,
berkumpul untuk mengingat beliau, serta memuliakan orang-orang fakir,
adalah tampilan pengagungan, kegembiraan, dan rasa syukur yang paling nyata.

 Dalam ucapan Nabi SAW tentang keutamaan hari Jum’at, disebutkan bahwa
salah satu di antaranya adalah, "Pada hari itu Adam diciptakan." Hal
itu menunjukkan dimuliakannya waktu ketika seorang nabi dilahirkan.

*Maka bagaimana dengan hari di lahirkannya nabi yang paling utama dan
rasul yang paling mulia?*

   Peringatan Maulid adalah_ perkara yang dipandang bagus oleh para ulama
dan kaum muslimin di semua negeri dan telah dilakukan di semua tempat.
Karena itu, ia dituntut oleh syara’, berdasarkan qaidah yang diambil
dari hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud, "/Apa yang dipandang
balk oleh kaum muslimin, ia pun balk di sisi Allah; dan apa yang
dipandang buruk oleh kaum muslimin, ia pun buruk di sisi Allah."

  Dalam peringatan Maulid tercakup berkumpulnya umat, dzikir, sedekah, dan
pengagungan kepada Nabi SAW. Semua itu hal-hal yang dituntut oleh syara’
dan terpuji. Tidak semua yang tidak pernah dilakukan para salaf dan
tidak ada di awal Islam berarti bid’ah yang munkar dan buruk, yang haram
untuk dilakukan dan wajib untuk ditentang. Melainkan apa yang "baru" itu
(yang belum pernah dilakukan) harus dinilai berdasarkan dalii-dalil syara’.

*Tidak semua bid’ah itu diharamkan*.

 Jika haram, niscaya haramlah
pengumpulan Al-Quran, yang dilakukan Abu Bakar, Umar, dan Zaid, dan
penulisannya di mushaf-mushaf karena khawatir hilang dengan wafatnya
para sahabat yang hafal Al-Quran. Haram pula apa yang dilakukan Umar
ketika mengumpulkan orang untuk mengikuti seorang imam ketika melakukan
shalat Tarawih, padahal ia mengatakan, "Sebaik-baik bid’ah adalah ini."
Banyak lagi perbuatan baik yang sangat dibutuhkan umat akan dikatakan
bid’ah yang haram apabila semua bid’ah itu diharamkan.

  Peringatan Maulid Nabi, meskipun tidak ada di zaman Rasulullah SAW,
sehingga merupakan bid’ah, adalah bid’ah hasanah (bid’ah yang baik),
karena ia tercakup di dalam dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah
kulliyyah (yang bersifat global)._

 Jadi, peringatan Maulid itu bid’ah jika kita hanya memandang bentuknya,
bukan perinaan-perinaan amalan yang terdapat di dalamnya (sebagaimana
terdapat dalam dalil kedua belas), karena amalan-amalan itu juga ada di
masa Nabi.Semua yang tidak ada pada awal masa Islam dalam bentuknya
tetapi perincian-perincian amalnya ada, juga dituntut oleh syara’.
Karena, apa yang tersusun dari hal-hal yang berasal dari syara’, pun
dituntut oleh syara’.

*Imam Asy-Syafi’i*

  mengatakan, "Apa-apa yang baru (yang belum ada atau
dilakukan di masa Nabi SAW) dan bertentangan dengan Kitabullah, sunnah,
ijmak, atau sumber lain yang dijadikan pegangan, adalah bid’ah yang
sesat. Adapun suatu kebaikan yang baru dan tidak bertentangan dengan
yang tersebut itu, adalah terpuji.

Setiap kebaikan yang tercakup dalam dalil-dalil syar’i dan tidak
dimaksudkan untuk menyalahi syariat dan tidak pula mengandung suatu
kemunkaran itu termasuk ajaran agama.

*Memperingati Maulid Nabi SAW berarti menghidupkan ingatan (kenangan)
tentang Rasulullah, dan itu menurut kita disyariatkan dalam Islam*.

Sebagaimana yang kita lihat sebagian besar amaliah haji pun menghidupkan
ingatan tentang peristiwa-peristiwa terpuji yang telah lalu.

  Semua dalil-dalil yang disebutkan sebelumnya tentang dibolehkannya
secara syariat peringatan Maulid Nabi SAW hanyalah pada
peringatan-peringatan yang tidak disertai perbuatan-perbuatan munkar
yang tercela, yang wajib ditentang. Adapun jika peringatan Maulid
mengandung hal-hal yang disertai sesuatu yang wajib diingkari, seperti
bercampurnya laki-laki dan perempuan, dilakukannya perbuatanperbuatan
yang terlarang, dan banyaknya pemborosan dan perbuatan-perbuatan lain
yang tidak diridhai Shahibul Maulid, tak diragukan lagi bahwa itu
diharamkan. Tetapi keharamannya itu bukan pada peringatan Maulidnya itu
sendiri, melainkan pada hal-hal yang terlarang tersebut.

 
 
    PERINGATAN MAULID NABI (Lengkap Dengan Bantahan Terhadap Kaum Wahabi
    Yang Mengharamkannya)

   *Sejarah Peringatan Maulid Nabi*

  Peringatan Maulid Nabi pertama kali dilakukan oleh raja Irbil (wilayah
Irak sekarang), bernama Muzhaffaruddin al-Kaukabri, pada awal abad ke 7
hijriyah. Ibn Katsir dalam kitab Tarikh berkata: “Raja Muzhaffar
mengadakan peringatan maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awwal. Beliau
merayakannya secara besar-besaran. Beliau adalah seorang pemberani,
pahlawan, alim dan seorang yang adil -semoga Allah merahmatinya-”.

  Dijelaskan oleh Sibth (cucu) Ibn al-Jauzi bahwa dalam peringatan
tersebut  raja al-Muzhaffar mengundang seluruh rakyatnya dan seluruh
para ulama dari berbagai disiplin ilmu, baik ulama fiqh, ulama hadits,
ulama kalam, ulama ushul, para ahli tasawwuf dan lainnya. Sejak tiga
hari sebelum hari pelaksanaan beliau telah melakukan berbagai persiapan.
Ribuan kambing dan unta disembelih untuk hidangan para tamu yang akan
hadir dalam perayaan Maulid Nabi tersebut.

  Segenap para ulama saat itu membenarkan dan menyetujui apa yang
dilakukan oleh raja al-Muzhaffar tersebut. Mereka semua mengapresiasi
dan menganggap baik perayaan maulid Nabi yang digelar untuk pertama
kalinya itu. Ibn Khallikan dalam kitab Wafayat al-A’yan menceritakan
bahwa al-Imam al-Hafizh Ibn Dihyah datang dari Maroko menuju Syam
untuk selanjutnya menuju Irak, ketika melintasi daerah Irbil pada tahun
604 H, beliau mendapati Raja al-Muzhaffar, raja Irbil tersebut sangat
besar perhatiannya terhadap perayaan Maulid Nabi. Oleh karenanya
al-Hafzih Ibn Dihyah kemudian menulis sebuah buku tentang Maulid Nabi
yang diberi judul “at-Tanwir Fi Maulid al-Basyir an-Nadzir/”. Karya
ini kemudian beliau hadiahkan kepada raja al-Muzhaffar.


  Para ulama, semenjak masa raja al-Muzhaffar dan masa sesudahnya hingga
sampai sekarang ini menganggap bahwa perayaan maulid Nabi adalah sesuatu
yang baik. Jajaran para ulama terkemuka dan Huffazh al-Hadits telah
menyatakan demikian. Di antara mereka seperti al-Hafizh Ibn Dihyah
(abad 7 H),al-Hafizh al-'Iraqi (W 806 H),Al-Hafizh Ibn Hajar
al-'Asqalani (W 852 H),al-Hafizh as-Suyuthi (W 911 H),al-Hafizh
as-Sakhawi (W 902 H), Syekh Ibn Hajar al-Haitami (W 974 H),al-Imam
an-Nawawi (W 676 H),al-Imam al-‘Izz ibn 'Abd as-Salam (W 660 H),
mantan mufti Mesir; Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi'i (W 1354 H), Mantan
Mufti Bairut Lebanon; Syekh Mushthafa Naja (W 1351 H) dan masih banyak
lagi para ulama besar yang lainnya. Bahkan al-Imam as-Suyuthi menulis
karya khusus tentang maulid yang berjudul “Husn al-Maqsid Fi ‘Amal
al-Maulid”. Karena itu perayaan maulid Nabi, yang biasa dirayakan di
bulan Rabi’ul Awwal menjadi tradisi ummat Islam di seluruh belahan
dunia, dari masa ke masa dan dalam setiap generasi ke generasi.

*Hukum Peringatan Maulid Nabi*

  Peringatan Maulid Nabi Muhammad yang dirayakan dengan membaca sebagian
ayat-ayat al-Qur’an dan menyebutkan sebagian sifat-sifat nabi yang
mulia, ini adalah perkara yang penuh dengan berkah dan kebaikan kebaikan
yang agung. Tentu jika perayaan tersebut terhindar dari bid’ah-bid’ah
sayyi-ah yang dicela oleh syara’.

  Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa perayaan Maulid Nabi mulai
dilakukan pada permulaan abad ke 7 H. Ini berarti kegiatan ini tidak
pernah dilakukan oleh Rasulullah, para sahabat dan generasi Salaf. Namun
demikian tidak berarti hukum perayaan Maulid Nabi dilarang atau sesuatu
yang haram. Karena segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh
Rasulullah atau tidak pernah dilakukan oleh para sahabatnya belum tentu
bertentangan dengan ajaran Rasulullah sendiri. Para ulama menggolongkan
perayaan Maulid Nabi sebagai bagian dari /bid’ah hasanah./ Artinya bahwa
perayaan Maulid Nabi ini merupakan perkara baru yang sejalan dengan
ajaran-ajaran al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi dan sama sekali tidak
bertentangan dengan keduanya.


*Dalil-Dalil Peringatan Maulid Nabi*

 1. Peringatan Maulid Nabi masuk dalam anjuran hadits nabi untuk
membuat sesuatu yang baru yang baik dan tidak menyalahi syari’at Islam.
Rasulullah bersabda:



مَنْ  سَنَّ  فيِ  اْلإِسْـلاَمِ  سُنَّةً  حَسَنـَةً  فَلَهُ  أَجْرُهَا وَأَجْرُ  مَنْ  عَمِلَ  بِهَا بَعْدَهُ 
مِنْ  غَيْرِ  أَنْ يَنْقُصَ مِنْ  أُجُوْرِهِمْ  شَىْءٌ * *(رواه مسلم في صحيحه) * *

“Barang siapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebuah perkara baik
maka ia akan mendapatkan pahala dari perbuatan baiknya tersebut, dan ia
juga mendapatkan pahala dari orang yang mengikutinya setelahnya, tanpa
berkurang pahala mereka sedikitpun”. (HR. Muslim dalam kitab Shahihnya).

*Faedah Hadits:*

  Hadits ini memberikan keleluasaan kepada ulama ummat Nabi Muhammad untuk
merintis perkara-perkara baru yang baik yang tidak bertentangan dengan
al-Qur’an, Sunnah, Atsar maupun Ijma’. Peringatan maulid Nabi adalah
perkara baru yang baik dan sama sekali tidak menyalahi satu-pun di
antara dalil-dalil tersebut. Dengan demikian berarti hukumnya boleh,
bahkan salah satu jalan untuk mendapatkan pahala. Jika ada orang yang
mengharamkan peringatan Maulid Nabi, berarti  telah mempersempit
keleluasaan yang telah Allah berikan kepada hamba-Nya untuk melakukan
perbuatan-perbuatan baik yang belum pernah ada pada masa Nabi.

2.Dalil-dalil tentang adanya Bid’ah Hasanah yang telah disebutkan
dalam pembahasan mengenai Bid’ah. 

3. Hadits riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam kedua kitab
Shahih nya. Diriwayatkan bahwa ketika Rasulullah tiba di Madinah,
beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura’ (10
Muharram). Rasulullah bertanya kepada mereka: “Untuk apa mereka
berpuasa?” Mereka menjawab: “Hari ini adalah hari ditenggelamkan Fir'aun
dan diselamatkan Nabi Musa, dan kami berpuasa di hari ini adalah karena
bersyukur kepada Allah”. Kemudian Rasulullah bersabda:

 أَنَا أَحَقُّ بِمُوْسَى مِنْكُمْ

 “Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian”.

 Lalu Rasulullah berpuasa dan memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa.

 *Faedah Hadits:*

  Pelajaran penting yang dapat diambil dari hadits ini ialah bahwa sangat
dianjurkan untuk melakukan perbuatan syukur kepada Allah pada hari-hari
tertentu atas nikmat yang Allah berikan pada hari-hari tersebut. Baik
melakukan perbuatan syukur karena memperoleh nikmat atau karena
diselamatkan dari marabahaya. Kemudian perbuatan syukur tersebut diulang
pada hari yang sama di setiap tahunnya.

  Bersyukur kepada Allah dapat dilakukan dengan melaksanakan berbagai
bentuk ibadah, seperti sujud syukur, berpuasa, sedekah, membaca
al-Qur’an dan semacamnya. Bukankah kelahiran Rasulullah adalah nikmat
yang paling besar bagi umat ini?! Adakah nikmat yang lebih agung dari
dilahirkannya Rasulullah pada bulan Rabi’ul Awwal ini?! Adakah nikmat
dan karunia yang lebih agung dari pada kelahiran Rasulullah yang
menyelamatkan kita dari jalan kesesatan?! Demikian inilah yang telah
dijelaskan oleh /al-Hafizh/ Ibn Hajar al-‘Asqalani.

 4. Hadits riwayat Imam Muslim dalam kitab /Shahih/. Bahwa Rasulullah
ketika ditanya mengapa beliau puasa pada hari Senin, beliau menjawab:

ذلِكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ

 “Hari itu adalah hari dimana aku dilahirkan”.  (HR Muslim)

*Faedah Hadits:*

  Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah melakukan puasa pada hari senin
karena bersyukur kepada Allah, bahwa pada hari itu beliau dilahirkan.
Ini adalah isyarat dari Rasulullah, artinya jika beliau berpuasa pada
hari senin karena bersyukur kepada Allah atas kelahiran beliau sendiri
pada hari itu, maka demikian pula bagi kita sudah selayaknya pada
tanggal kelahiran Rasulullah tersebut untuk melakukan perbuatan syukur,
misalkan dengan membaca al-Qur’an, membaca kisah kelahirannya,
bersedekah, atau perbuatan baik lainnya.

  Kemudian, oleh karena puasa pada hari senin diulang setiap minggunya,
maka berarti peringatan maulid juga diulang setiap tahunnya. Dan karena
hari kelahiran Rasulullah masih diperselisihkan oleh para ulama mengenai
tanggalnya, -bukan pada harinya-, maka sah-sah saja jika dilakukan pada
tanggal 12, 2, 8, atau 10 Rabi'ul Awwal atau pada tanggal lainnya.
Bahkan tidak masalah bila perayaan ini dilaksanakan dalam sebulan penuh
sekalipun, sebagaimana ditegaskan oleh /al-Hafizh/ as-Sakhawi seperti
yang akan dikutip di bawah ini.

*Fatwa Beberapa Ulama Ahlussunnah*

 1. Fatwa Syaikh al-Islam Khatimah al-Huffazh Amir al-Mu’minin Fi
al-Hadits al-Imam Ahmad Ibn Hajar al-‘Asqalani. Beliau menuliskan
menuliskan sebagai berikut:
  

    أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ،
    وَلكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا، فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ
    وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَتْ بِدْعَةً حَسَنَةً" وَقَالَ: "وَقَدْ ظَهَرَ لِيْ تَخْرِيْجُهَا عَلَى أَصْلٍ ثَابِتٍ.

    “Asal peringatan maulid adalah bid’ah yang belum pernah dinukil dari
    kaum Salaf saleh yang hidup pada tiga abad pertama, tetapi demikian
    peringatan maulid mengandung kebaikan dan lawannya, jadi barangsiapa
    dalam peringatan maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik saja
    dan menjauhi lawannya (hal-hal yang buruk), maka itu adalah bid’ah
    hasanah”.Al-Hafizh Ibn Hajar juga mengatakan: “Dan telah nyata
    bagiku dasar pengambilan peringatan Maulid di atas dalil yang
    tsabit (Shahih)”.

2. Fatwa al-Imam al-Hafizh as-Suyuthi. Beliau mengatakan dalam
risalahnya Husn al-Maqshid Fi ‘Amal al-Maulid: Beliau menuliskan
sebagai berikut:


    عِنْدِيْ أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوِلِدِ الَّذِيْ هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ
    القُرْءَانِ وَرِوَايَةُ الأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِيْ مَبْدَإِ أَمْرِ النَّبِيِّ وَمَا وَقَعَ فِيْ مَوْلِدِهِ مِنَ
    الآيَاتِ، ثُمَّ يُمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذلِكَ هُوَ مِنَ
    الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيِّ
    وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ. وَأَوَّلُ مَنْ أَحْدَثَ ذلِكَ صَاحِبُ إِرْبِل
    الْمَلِكُ الْمُظَفَّرُ أَبُوْ سَعِيْدٍ كَوْكَبْرِيْ بْنُ زَيْنِ الدِّيْنِ ابْنِ بُكْتُكِيْن أَحَدُ الْمُلُوْكِ
    الأَمْجَادِ وَالْكُبَرَاءِ وَالأَجْوَادِ، وَكَانَ لَهُ آثاَرٌ حَسَنَةٌ وَهُوَ الَّذِيْ عَمَّرَ الْجَامِعَ
    الْمُظَفَّرِيَّ بِسَفْحِ قَاسِيُوْنَ.

    “Menurutku: pada dasarnya peringatan maulid, berupa kumpulan
    orang-orang, berisi bacaan beberapa ayat al-Qur’an, meriwayatkan
    hadits-hadits tentang permulaan sejarah Rasulullah dan tanda-tanda
    yang mengiringi kelahirannya, kemudian disajikan hidangan lalu
    dimakan oleh orang-orang tersebut dan kemudian mereka bubar
    setelahnya tanpa ada tambahan-tambahan lain, adalah termasuk bid’ah
    hasanah yang pelakunya akan memperoleh pahala. Karena perkara
    semacam itu merupakan perbuatan mengagungkan terhadap kedudukan
    Rasulullah dan merupakan penampakan akan rasa gembira dan suka cita
    dengan kelahirannya yang mulia. Orang yang pertama kali merintis
    peringatan maulid ini adalah penguasa Irbil, Raja al-Muzhaffar Abu
    Sa'id Kaukabri Ibn Zainuddin Ibn Buktukin, salah seorang raja yang
    mulia, agung dan dermawan. Beliau memiliki peninggalan dan jasa-jasa
    yang baik, dan dialah yang membangun al-Jami’ al-Muzhaffari di
    lereng gunung Qasiyun”.

3. Fatwa al-Imam al-Hafizh as-Sakhawi seperti disebutkan dalam
al-Ajwibah al-Mardliyyah, sebagai berikut:

     لَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ فِيْ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ الْفَاضِلَةِ، وَإِنَّمَا حَدَثَ
    بَعْدُ، ثُمَّ مَا زَالَ أَهْـلُ الإِسْلاَمِ فِيْ سَائِرِ الأَقْطَارِ وَالْمُـدُنِ الْعِظَامِ يَحْتَفِلُوْنَ
    فِيْ شَهْرِ مَوْلِدِهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّفَ وَكَرَّمَ- يَعْمَلُوْنَ الْوَلاَئِمَ الْبَدِيْعَةَ
    الْمُشْتَمِلَةَ عَلَى الأُمُوْرِ البَهِجَةِ الرَّفِيْعَةِ، وَيَتَصَدَّقُوْنَ فِيْ لَيَالِيْهِ بِأَنْوَاعِ
    الصَّدَقَاتِ، وَيُظْهِرُوْنَ السُّرُوْرَ، وَيَزِيْدُوْنَ فِيْ الْمَبَرَّاتِ، بَلْ يَعْتَنُوْنَ بِقِرَاءَةِ مَوْلِدِهِ
    الْكَرِيْمِ، وَتَظْهَرُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَرَكَاتِهِ كُلُّ فَضْلٍ عَمِيْمٍ بِحَيْثُ كَانَ مِمَّا جُرِّبَ". ثُمَّ قَالَ:
    "قُلْتُ: كَانَ مَوْلِدُهُ الشَّرِيْفُ عَلَى الأَصَحِّ لَيْلَةَ الإِثْنَيْنِ الثَّانِيَ عَشَرَ مِنْ شَهْرِ رَبِيْع
    الأَوَّلِ، وَقِيْلَ: لِلَيْلَتَيْنِ خَلَتَا مِنْهُ، وَقِيْلَ: لِثَمَانٍ، وَقِيْلَ: لِعَشْرٍ وَقِيْلَ غَيْرُ ذَلِكَ،
    وَحِيْنَئِذٍ فَلاَ بَأْسَ بِفِعْلِ الْخَيْرِ فِيْ هذِهِ الأَيَّامِ وَاللَّيَالِيْ عَلَى حَسَبِ الاسْتِطَاعَةِ
    بَلْ يَحْسُنُ فِيْ أَيَّامِ الشَّهْرِ كُلِّهَا وَلَيَالِيْهِ.

    “Peringatan Maulid Nabi belum pernah dilakukan oleh seorang-pun dari
    kaum Salaf Saleh yang hidup pada tiga abad pertama yang mulia,
    melainkan baru ada setelah itu di kemudian. Dan ummat Islam di semua
    daerah dan kota-kota besar senantiasa mengadakan peringatan Maulid
    Nabi pada bulan kelahiran Rasulullah. Mereka mengadakan
    jamuan-jamuan makan yang luar biasa dan diisi dengan hal-hal yang
    menggembirakan dan baik. Pada malam harinya, mereka mengeluarkan
    berbagai macam sedekah, mereka menampakkan kegembiraan dan suka
    cita. Mereka melakukan kebaikan-kebaikan lebih dari biasanya. Mereka
    bahkan meramaikan dengan membaca buku-buku maulid. Dan nampaklah
    keberkahan Nabi dan Maulid secara merata. Dan ini semua telah teruji”.

    Kemudian as-Sakhawi berkata: “Aku Katakan: “Tanggal kelahiran Nabi
    menurut pendapat yang paling shahih adalah malam Senin, tanggal 12
    bulan Rabi’ul Awwal. Menurut pendapat lain malam tanggal 2, 8, 10
    dan masih ada pendapat-pendapat lain. Oleh karenanya tidak mengapa
    melakukan kebaikan kapanpun pada hari-hari dan malam-malam ini
    sesuai dengan kesiapan yang ada, bahkan baik jika dilakukan pada
    hari-hari dan malam-malam bulan Rabi'ul Awwal seluruhnya”[1].

   Jika kita membaca fatwa-fatwa para ulama terkemuka ini dan
merenungkannya dengan hati yang jernih, kita akan mengetahui bahwa
sebenarnya sikap “sinis” yang timbul dari sebagian orang yang
mengharamkan Maulid Nabi tidak lain hanya didasarakan kepada hawa nafsu
belaka. Orang-orang semacam itu sama sekali tidak peduli dengan
fatwa-fatwa para ulama saleh terdahulu. Di antara pernyataan mereka yang
sangat merisihkan ialah bahwa mereka seringkali menyamakan peringatan
maulid Nabi ini dengan perayaan Natal yang dilakukan oleh orang-orang
Nasrani. Bahkan salah seorang dari mereka, karena sangat benci terhadap
perayaan Maulid Nabi ini, dengan tanpa malu dan tanpa risih sama sekali
berkata:



إِنَّ الذَّبِيْحَةَ الَّتِيْ تُذْبَحُ لإِطْعَامِ النَّاسِ فِيْ الْمَوْلِدِ أَحْرَمُ مِنَ الْخِنْزِيْرِ.

“Sesungguhnya binatang sembelihan yang disembelih untuk menjamu orang
dalam peringatan maulid lebih haram dari daging babi”.



  Orang-orang anti maulid ini menganggap bahwa perbuatan bid’ah semcam
Maulid Nabi ini adalah perbuatan yang mendekati syirik. Dengan demikian,
menurut mereka-, lebih besar dosanya dari pada memakan daging babi yang
hanya haram saja dan tidak mengandung unsur syirik.

*Jawab:*

  Na’udzu Billah. Sungguh sangat kotor dan buruk perkataan orang semacam
ini. Bagaimana ia berani dan tidak punya rasa malu sama sekali
mengatakan peringatan Maulid Nabi, -yang telah disetujui oleh para ulama
dan orang-orang saleh dan telah dianggap sebagai perkara baik oleh para
ahli hadits dan lainnya-, dengan perkataan seburuk seperti ini?! Orang
seperti ini benar-benar tidak tahu diri. Apakah dia merasa telah menjadi
seperti al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani, al-Hafzih as-Suyuthi atau
al-Hafizh as-Sakhawi atau bahkan merasa lebih alim dari mereka?!
Bagaimana ia membandingkan makan daging babi yang telah nyata dan tegas
hukum haramnya di dalam al-Qur’an, lalu ia samakan dengan peringatan
Maulid Nabi yang sama sekali tidak ada pengharamannya dari nash-nash
syari’at?! Ini artinya, bahwa orang-orang semacam dia yang mengharamkan
maulid ini tidak mengetahui Maratib al-Ahkam; tingkatan-tingkatan
hukum. Mereka tidak mengetahui mana yang haram dan mana yang mubah, mana
yang haram dengan nash dan mana yang haram dengan istinbath. Tentunya
orang-orang semacam ini sama sekali tidak layak untuk diikuti dan
dijadikan panutan atau ikutan dalam mengamalkan ajaran agama Allah ini.

*Pembacaan Buku-Buku Maulid*

  Di antara rangkaian acara peringatan Maulid Nabi adalah membaca
kisah-kisah tentang kelahiran Rasulullah. /Al-Hafizh/ as-Sakhawi
menuliskan sebagai berikut:

     وَأَمَّا قِرَاءَةُ الْمَوْلِدِ فَيَنْبَغِيْ أَنْ يُقْتَصَرَ مِنْهُ عَلَى مَا أَوْرَدَهُ أَئِمَّةُ الْحَدِيْثِ فِيْ
    تَصَانِيْفِهِمْ الْمُخْتَصَّةِ بِهِ كَالْمَوْرِدِ الْهَنِيِّ لِلْعِرَاقِيِّ – وَقَدْ حَدَّثْتُ بِهِ فِيْ الْمَحَلِّ
    الْمُشَارِ إِلَيْهِ بِمَكَّةَ-، وَغَيْرِ الْمُخْتَصَّةِ بِهِ بَلْ ذُكِرَ ضِمْنًا كَدَلاَئِلِ النُّـبُوَّةِ
    لِلْبَيْهَقِيِّ، وَقَدْ خُتِمَ عَلَيَّ بِالرَّوْضَةِ النَّـبَوِيَّةِ، لأَنَّ أَكْثَرَ مَا بِأَيْدِيْ الْوُعَّاظِ مِنْهُ
    كَذِبٌ وَاخْتِلاَقٌ، بَلْ لَمْ يَزَالُوْا يُوَلِّدُوْنَ فِيْهِ مَا هُوَ أَقْبَحُ وَأَسْمَجُ مِمَّا لاَ تَحِلُّ
    رِوَايَتُهُ وَلاَ سَمَاعُهُ، بَلْ يَجِبُ عَلَى مَنْ عَلِمَ بُطْلاَنُهُ إِنْكَارُهُ، وَالأَمْرُ بِتَرْكِ
    قِرَائِتِهِ، عَلَى أَنَّهُ لاَ ضَرُوْرَةَ إِلَى سِيَاقِ ذِكْرِ الْمَوْلِدِ، بَلْ يُكْتَفَى بِالتِّلاَوَةِ
    وَالإِطْعَامِ وَالصَّدَقَةِ، وَإِنْشَادِ شَىْءٍ مِنَ الْمَدَائِحِ النَّـبَوِيَّةِ وَالزُّهْدِيَّةِ الْمُحَرِّكَةِ
    لِلْقُلُوْبِ إِلَى فِعْلِ الْخَيْرِ وَالْعَمَلِ لِلآخِرَةِ وَاللهُ يَهْدِيْ مَنْ يَشَاءُ.

    “Adapun pembacaan kisah kelahiran Nabi maka seyogyanya yang dibaca
    hanya yang disebutkan oleh para ulama ahli hadits dalam
    karangan-karangan mereka yang khusus berbicara tentang kisah
    kelahiran Nabi, seperti al-Maurid al-Haniyy karya al-‘Iraqi (Aku
    juga telah mengajarkan dan membacakannya di Makkah), atau tidak
    khusus -dengan karya-karya tentang maulid saja- tetapi juga dengan
    menyebutkan riwayat-riwayat yang mengandung tentang kelahiran Nabi,
    seperti kitab Dala-il an-Nubuwwah karya al-Baihaqi. Kitab ini juga
    telah dibacakan kepadaku hingga selesai di Raudlah Nabi. Karena
    kebanyakan kisah maulid yang ada di tangan para penceramah adalah
    riwayat-riwayat bohong dan palsu, bahkan hingga kini mereka masih
    terus memunculkan riwayat-riwayat dan kisah-kisah yang lebih buruk
    dan tidak layak didengar, yang tidak boleh diriwayatkan dan
    didengarkan, justru sebaliknya orang yang mengetahui kebatilannya
    wajib mengingkari dan melarang untuk dibaca. Padahal sebetulnya
    tidak mesti ada pembacaan kisah-kisah maulid dalam peringatan maulid
    Nabi, melainkan cukup membaca beberapa ayat al-Qur’an, memberi makan
    dan sedekah, didendangkan bait-bait Mada-ih Nabawiyyah
    (pujian-pujian terhadap Nabi) dan syair-syair yang mengajak kepada
    hidup zuhud, mendorong hati untuk berbuat baik dan beramal untuk
    akhirat. Dan Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki”.

 *Kerancuan Faham Kalangan Anti Maulid*


  1.*Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi
berkata:**“Peringatan Maulid Nabi tidak pernah dilakukan oleh
Rasulullah, juga tidak pernah dilakukan oleh para sahabatnya. Seandainya
hal itu merupakan perkara baik niscaya mereka telah mendahului kita
dalam melakukannya”.

Jawab:   

Baik, Rasulullah tidak melakukannya, apakah beliau melarangnya? Perkara
yang tidak dilakukan oleh Rasulullah tidak sertamerta sebagai sesuatu
yang haram. Tapi sesuatu yang haram itu adalah sesuatu yang telah nyata
dilarang dan diharamkan oleh Rasulullah. Karena itu Allah berfirman:


وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا (الحشر: 7)

“Apa yang diberikan oleh Rasulullah kepadamu maka terimalah  dan apa
yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”.  (QS. al-Hasyr: 7)


   Dalam firman Allah di atas disebutkan “Apa yang dilarang ole Rasulullah
atas kalian maka tinggalkanlah”, tidak mengatakan “Apa yang ditinggalkan
oleh Rasulullah maka tinggalkanlah”. Ini artinya bahwa perkara haram
adalah sesuatu yang dilarang dan diharamkan oleh Rasulullah, bukan
sesuatu yang ditinggalkannya. Suatu perkara itu tidak haram hukumnya
hanya dengan alasan tidak dilakukan oleh Rasulullah. Melainkan ia
menjadi haram ketika ada dalil yang melarang dan mengharamkannya.

  Lalu kita katakan kepada mereka: Apakah untuk mengetahui bahwa sesuatu
itu boleh atau sunnah harus ada nash dari Rasulullah langsung yang
secara khusus menjelaskannya?! Apakah untuk mengetahui boleh atau
sunnahnya perkara maulid harus ada nash khusus dari Rasulullah yang
berbicara tentang maulid itu sendiri?! Bagaimana mungkin Rasulullah
berbicara atau melakukan segala sesuatu secara khusus dalam umurnya yang
sangat singkat?! Bukankah jumlah nash-nash syari’at, baik ayat-ayat
al-Qur’an maupun hadits-hadits nabi, itu semua terbatas, artinya tidak
membicarakan setiap peristiwa, padahal peristiwa-peristiwa baru akan
terus bermunculan dan selalu bertambah?! Jika setiap perkara harus
dibicarakan oleh Rasulullah langsung, lalu dimanakah posisi ijtihad dan
apa fungsi ayat-ayat atau hadits-hadits yang memberikan pemahaman umum?!
Misalkan firman Allah:

 وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (الحج: 77)

“Dan lakukan kebaikan oleh kalian supaya kalian beruntung” (QS. al Hajj: 77)

  Apakah kemudian setiap bentuk kebaikan harus dikerjakan terlebih dahulu
oleh Rasulullah supaya dihukumi bahwa kebaikan tersebut boleh
dilakukan?! Tentunya tidak demikian. Dalam masalah ini Rasulullah hanya
memberikan kaedah-kaedah atau garis besarnya saja. Karena itulah dalam
setiap pernyataan Rasulullah terdapat apa yang disebut dengan Jawami’
al-Kalim. Artinya bahwa dalam setiap ungkapan Rasulullah terdapat
kandungan makna yang sangat luas.

Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah bersabda:


مَنْ  سَنَّ  فيِ  اْلإِسْـلاَمِ  سُنَّةً  حَسَنـَةً  فَلَهُ  أَجْرُهَا وَأَجْرُ  مَنْ  عَمِلَ  بِهَا بَعْدَهُ 
مِنْ  غَيْرِ  أَنْ يَنْقُصَ مِنْ  أُجُوْرِهِمْ  شَىْءٌ (رواه الإمام مسلم في صحيحه) * *

“Barang siapa yang memulai (merintis perkara baru) dalam Islam sebuah
perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala dari perbuatannya
tersebut dan pahala dari orang-orang yang mengikutinya sesudah dia,
tanpa berkurang pahala mereka sedikitpun”. (HR. Muslim dalam Shahih-nya).

Dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah bersabda:


مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم)

“Barang siapa merintis sesuatu yang baru dalam agama kita ini yang bukan
berasal darinya maka ia tertolak”. (HR. Muslim)

 Dalam hadits ini Rasulullah menegaskan bahwa sesuatu yang baru dan
tertolak adalah sesuatu yang “bukan bagian dari syari’atnya”. Artinya,
sesuatu yang baru yang tertolak adalah yang menyalahi syari’at Islam itu
sendiri. Inilah yang dimaksud dengan pernyataan Rasulullah dalam hadits
di atas: “Ma Laisa Minhu”. Karena, seandainya semua perkara yang belum
pernah dilakukan oleh Rasulullah atau oleh para sahabatnya adalah
perkara yang pasti haram dan sesat dengan tanpa terkecuali, maka
Rasulullah tidak akan mengatakan“Ma Laisa Minhu”,tapi mungkin akan
berkata:“Man Ahdatsa Fi Amrina Hadza Syai’an Fa Huwa Mardud”
(Siapapun yang merintis perkara baru dalam agama kita ini maka ia pasti
tertolak). Dan bila maknanya seperti ini maka berarti hal ini
bertentangan dengan hadits riwayat Imam Muslim di atas sebelumnya. Yaitu
hadits: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan....”. Padalah hadits
riwayat Imam Muslim ini megandung isyarat anjuran bagi kita untuk
membuat suatu yang baru, yang baik, dan yang sejalan dengan syari’at Islam.

  Dengan demikian tidak semua perkara baru adalah sesat dan tertolak.
Namun setiap perkara baru harus dicari hukumnya dengan dilihat
persesuaiannya dengan dalil-dalil dan kaedah-kaedah syara’. Bila sesuai
maka boleh dilakukan, dan jika menyalahi maka tentu tidak boleh
dilakukan. Karena itulah al-Hafizh bn Hajar al-‘Asqalani menuliskan
sebagai berikut:


وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ
مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ

 “Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi-ah menurut tahqiq
(penelitian) para ulama adalah; bahwa jika perkara baru tersebut masuk
dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah
hasanah, dan jika tergolong kepada hal yang buruk dalam syara’ maka
berarti termasuk bid’ah yang buruk”.

Pantaskah dengan keagungan Islam dan keluasan kaedah-kaedahnya jika
dikatakan bahwa setiap perkara baru adalah sesat?

2.Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi biasanya
berkata:*“*Peringatan maulid itu sering dibarengi dengan perkara-perkara
haram dan maksiat”.* *

*Jawab: *

   Apakah karena alasan tersebut lantas peringatan maulid menjadi haram
secara mutlak?! Pendekatannya; Apakah seseorang haram baginya untuk
masuk ke pasar, dengan alasan di pasar banyak yang sering melakukan
perbuatan haram, seperti membuka aurat, menggunjingkan orang, menipu dan
lain sebagainya?! Tentu tidak demikian. Maka demikian pula dengan
peringatan maulid, jika ada kesalahan-kesalahan atau perkara-perkara
haram dalam pelaksanaannya, maka kesalahan-kesalahan itulah yang harus
diperbaiki. Dan memperbaikinya tentu bukan dengan mengharamkan hukum
maulid itu sendiri. Karena itulah al-Hafizh Ibn Hajar telah mengatakan:


أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ، وَلكِنَّهَا مَعَ
ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا، فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَتْ
بِدْعَةً حَسَنَةً

 “Asal peringatan maulid adalah bid’ah yang belum pernah dinukil dari
kaum Salaf saleh pada tiga abad pertama, tetapi meski demikian
peringatan maulid mengandung kebalikan dan lawannya. Barangsiapa dalam
memperingati maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik saja dan
menjauhi lawannya (hal-hal buruk yang diharamkan), maka itu adalah
bid’ah hasanah”.

3. Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi
berkata:**“Peringatan Maulid itu seringkali menghabiskan dana yang
sangat besar. Hal itu adalah perbuatan /tabdzir/. Mengapa tidak
dialokasikan saja untuk kebutuhan ummat yang lebih penting?”.* *

*Jawab: *

  Laa Hawla Walaa Quwwata Illa Billah.Perkara yang telah dianggap baik
oleh para ulama disebutnya sebagai tabdzir?! Orang yang berbuat baik,
bersedekah, ia anggap telah melakukan perbuatan haram, yaitu perbuatan
tabdzir?! Mengapa orang-orang seperti ini selalu saja berprasangka
buruk(suuzhzhann) terhadap umat Islam?! Mengapa harus mencari-cari
dalih untuk mengharamkan perkara yang tidak diharamkan oleh Allah dan
Rasul-Nya?! Mengapa mereka selalu saja beranggapan bahwa peringatan
maulid tidak ada unsur kebaikannya sama sekali untuk ummat ini?!
Bukankah peringatan Maulid Nabi mengingatkan kita kepada perjuangan
Rasulullah dalam berdakwah sehingga membangkitkan semangat kita untuk
berdakwah seperti yang telah dicontohkan beliau?! Bukankah peringatan
Maulid Nabi memupuk kecintaan kita kepada Rasulullah dan menjadikan kita
banyak bershalawat kepadanya?! Sesungguhnya maslahat-maslahat besar
semacam ini bagi orang yang beriman tidak bisa diukur dengan harta.

4.Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi sering
berkata:**“Peringatan Maulid itu pertama kali diadakan oleh Sultan
Shalahuddin al-Ayyubi. Tujuan beliau saat itu adalah memobilisasi ummat
untuk berjihad. Berarti orang yang melakukan peringatan maulid bukan
dengan tujuan itu, telah menyimpang dari tujuan awal maulid. Oleh
karenanya peringatan maulid tidak perlu”.* *

Jawab: 
  Pernyataan seperti ini sangat aneh. Ahli sejarah mana yang mengatakan
bahwa orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah sultan
Shalahuddin al-Ayyubi. Para ahli sejarah, seperti Ibn Khallikan, Sibth
Ibn al-Jauzi, Ibn Katsir,al-Hafizh as-Sakhawi, al-Hafizh
as-Suyuthi dan lainnya telah sepakat menyatakan bahwa orang yang pertama
kali mengadakan peringatan maulid adalah Raja al-Muzhaffar, bukan sultan
Shalahuddin al-Ayyubi.

  Orang yang mengatakan bahwa sultan Shalahuddin al-Ayyubi yang pertama
kali mengadakan Maulid Nabi telah membuat “rekayasa jahat” terhadap
sejarah. Perkataan mereka bahwa sultan Shalahuddin membuat maulid untuk
tujuan mobilisasi umat untuk jihad dalam perang salib, maka jika
diadakan bukan untuk tujuan seperti ini berarti telah menyimpang, adalah
perkataan yang menyesesatkan. Target mereka yang berkata demikian adalah
hendak mengharamkan maulid, atau paling tidak hendak mengatakan tidak perlu.

  Kita katakan kepada mereka: Apakah jika orang hendak berjuang harus
bergabung dengan bala tentara sultan Shalahuddin? Apakah menurut mereka
yang berjuang untuk Islam hanya bala tentara sultan Shalahuddin saja?
Dan apakah dalam berjuang harus mengikuti metode dan strategi
Shalahuddin saja, dan jika tidak, berarti tidak berjuang namanya?!


  Hal yang sangat mengherankan ialah kenapa bagi sebagian mereka yang
mengharamkan maulid ini, dalam keadaan tertentu, atau untuk kepentingan
tertentu, kemudian mereka mengatakan maulid boleh, istighotsah boleh,
bahkan ikut-ikutan tawassul, tapi kemudian terhadap orang lain mereka
mengharamkannya?! /Hasbunallah./ Para ahli sejarah yang telah kita
sebutkan di atas, tidak ada seorangpun dari mereka yang mengisyaratkan
bahwa tujuan maulid adalah untuk memobilisasi ummat untuk jihad dalam
perang di jalan Allah. Lalu dari mana muncul pemikiran seperti ini?!
Tidak lain, pemikiran tersebut hanya muncul dari hawa nafsu belaka.
Benar, mereka selalu mencari-cari celah sekecil apapun untuk
mengungkapkan “kebencian” dan “sinisme” mereka terhadap peringatan
Maulid Nabi ini. Apa dasar mereka mengatakan bahwa peringatan maulid
baru boleh diadakan jika tujuannya mobilisasi massa untuk jihad?! Apa
dasar perkataan seperti ini?! Sama sekali tidak ada.


 Al-Hafizh Ibn Hajar,al-Hafizh as-Suyuthi,al-Hafizh as-Sakhawi
dan para ulama lainnya yang telah menjelaskan tentang kebolehan
peringatan Maulid Nabi, sama sekali tidak mengaitkannya dengan tujuan
mobilisasi massa untuk berjihad. Kemudian dalil-dalil yang mereka
kemukakan dalam masalah maulid tidak menyebut prihal jihad sama sekali,
bahkan mengisyaratkan saja tidak. Dari sini kita tahu betapa rancu dan
tidak berdasar perkataan mereka bila sudah berkaitan dengan hukum,
istinbath dan istidlal.

  Semoga Allah merahmati para ulama kita. Sesungguhnya mereka adalah
cahaya penerang bagi umat ini dan sebagai penuntun bagi kita semua
menuju jalan yang diridlai Allah.Amin,,,



Tidak ada komentar:

DIKLAT Calon Kepala Sekolah Kab. Bandung Tahap 2 Tahun 2021

Puji syukur kehadirat All o h Subhanahu Wata’ala yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas On The...