Jumat, 27 September 2024

DIKLAT Calon Kepala Sekolah Kab. Bandung Tahap 2 Tahun 2021




Puji syukur kehadirat Alloh Subhanahu Wata’ala yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas On The Job Training (OJT) 2 dan menyusun laporan   ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari On The Job Training (OJT) 2 adalah melatih calon kepala sekolah (CKS) membiasakan bekerja meningkatkan kualitas sekolah berbasis masalah nyata di sekolah Asal SDN Mekarasih .  On The Job Training (OJT) 2 juga melatih calon kepala sekolah (CKS) untuk meningkatkan kompetensi berdasarkan hasil AKPK yang kurang/rendah di sekolah magang SDN Cileunyi 04.

Sebagai penyusun laporan, saya mengucapkan terima kasih atas dukungan, kerjasama dan doanya sehingga kegitan On The Job Training (OJT) 2 dapat terselesaikan dengan baik. Ucapan terimakasih saya sampaiakan kepada:

1.    Ibu Prof. Dr. Nunuk Suryani, M. Pd. Sebagai Plt Kepala lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah (LPPKSPS)

2.    Bapak Drs.Abu Khaer,M.Pd sebagai Kepala Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Taman Kanak- Kanak dan Pendidikan Luar Biasa (PPPPTK dan PLB).

3.    Bapak Drs. H. Ruli Hadiana, S.Sos, M.I.Pol Sebagai Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bandung.

4.    Bapak Drs. H. Nandang Kuswara, M.Pd, Sekretaris Dinas Pendidikan Kabupaten  Bandung.

5.     Bapak Drs. Haryana,M.Si. Sebagai Pengajar Diklat CKS dari PPPPTK  dan PLB.

6.     Bapak Mushoffi Aziz, S.Ikom sebagai admin Diklat CKS.

7.     Bapak Uwon suwondo, S.Sos, M.M  Sebagai Korwil Kecamatan Cileunyi.

8.     Pengawas Binaan Ibu Hj. Imas Suparsih, S.Pd, M.M.Pd dan Hj. Yoyoh Holisoh, S.Pd, M.M.Pd.

9.      Bapak  Aat Sumirat, S.Pd, M.M.Pd  Mentor 1 sebagai kepala SDN Mekarasih.

10.  Bapak Nurhayadin, S.Pd  Mentor 2 Sebagai  kepala SDN Cileunyi 04.

11.  Bapak/ibu guru SDN Mekarasih dan SDN Cileunyi 04.

12.  Teman- teman CKS Kabupaten Bandung Tahap 2   Tahun 2021.

13.  Istri,  anak- anak dan keluarga besar saya yang selalu mendukung dan mendoakan saya sehingga dapat melaksanakan dan menyusun laporan kegiatan OJT-2.

14.  Teman – teman yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

Saya menyadari, Laporan yang saya susun ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan laporan ini.


Bandung, 22 Desember 2021

Penyusun Laporan,


Roni Sohibul Anwar, S.Pd, M.Pd

NIP. 198305032009011003



Sebagai bukti telah mengikuti Diklat CKS KAB. BANDUNG tahap 2 tahun 2021, penulis lampirkan Dokumentasi-dokumentasi kegiatan diklat CKS.

klik  tulisan di bawah ini :
Foto Dokumentasi Diklat CKS

Untuk Link Channel Youtube, Klik Gambar di Bawah ini




Rabu, 19 Juli 2023

Perpustakaan Islam Digital

Perpustakaan Islam Digital

Program ini menghimpun tidak kurang dari 3000 judul kitab dari berbagai bidang disiplin ilmu keislaman, yang jilidan ke 3000 an kitab tersebut mencapai 6000 jilid lebih. Kitab-kitab tersebut merangkum beberapa disiplin ilmu, yaitu:

  • Total Judul Kitab : 2770 (tanpa pengulangan cetakan)
  • Total Jilid: 6100
  • Halaman : 2875447

Tema-tema Besar

  • Al-Qur’an :  758 Jilid
    • Al-Qur’an: 63
    • Ilmu al-Qur’an : 192
    • Tafsir: 490
  • Hadis : 2066
    • Ilmu Hadis : 135
    • Rijal Hadis: 258
    • Matan Hadis :1673
  • Aqidah : 382
  • Fiqh : 1013
  • Ushul Fiqh : 253
  • Bahasa : 456
  • Dakwah : 58
  • Tarbiyah : 40
  • Sejarah : 712
  • Einsoklopedi : 99
  • Lain-lain : 209


>>>> Klik Disini Untuk Masuk Perpustakaan Islam Digital <<<<

Rabu, 28 Juni 2023

Tahiyat Awal Dalam Sholat


Tahiyat Awal

Tahiyat Awal ada pada sholat yang tiga rokaat dan empat rokaat, maka disunahkan untuk duduk tahiyyat pada rokaat kedua, hukumnya sunnah ab’ad, jika kita meninggalkannya maka kita dianjurkan untuk sujud sahwi apabila kita meninggalkannya, tetapi tidak membatalkan sholat jika kita meninggalkannya berbeda dengan kalau kita tidak membaca surat alfatihah atau rukuk, ini menurut pendapat Madzhab Imam Syafi’i. Imam Bukhori telah meriwayatkan hadits Abdullah Bin Buhainah ra, berkata :

أنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم صلَّى بهم الظُّهرَ، فقام في الرَّكعتينِ الأُوليَيْنِ، لم يجلِسْ، فقام النَّاسُ معه، حتَّى إذا قضى الصَّلاةَ، وانتظَرَ النَّاسُ تسليمَه،كبَّرَ وهو جالسٌ، فسجَد سجدتينِ قبْلَ أنْ يُسلِّمَ، ثم سلَّمَ


“Nabi Saw Sholat Zhuhur bersama mereka (para shahabat). Lalu bangun dari rokaat kedua tanpa duduk terlebih dahulu. Orang-orang pun ikut bangun (tidak duduk tahiyat awal). Usai sholat (ketika orang-orang menunggu Beliau Saw mengucapkan salam) beliau bertakbir sambil duduk lalu melakukan sujud dua kali sebelum salam. Setelah itu Beliau Saw salam” (HR BUkhori dalam Fathul Bari , HR Muslim dan yang lainnya). Ibnu Hajar dalam Fathul Bari mengatakan “dalam hadits bab ini disimpulkan jika Tahiyyat awal hukumnya wajib, tentu beliau (Rosululloh Saw) kembali kepadanya saat orang-orang bertasbih (mengingatkan beliau) ketika beliau bangun….”

Pada saat tahiyat Awal disunahkan untuk duduk iftirosi, ini mengacu pada hadits Abu Hamid As-sa’idi ra, ia berkata :
keumuman hadis Abu Humaid As Sa’idi radhiallahu’anhu beliau berkata:

فإذا جلس في الركعتين جلس على رجلٌه اليسرى، ونصب اليمنى، وإذا جلس في الركعة الآخرة، قدم رجلٌه اليسرى، ونصب الأخرى، وقعد على مقعدته

“Tatkala duduk pada rokaat kedua Rosululloh Saw duduk diatas kaki kirinya dengan meluruskan kaki kanan. Manakala duduk pada rokaat terakhir beliau mendahulukan kaki kiri dan meluruskan kaki yang satunya serta duduk pada tempat duduk nya” (HR Bukhori)
Disunnahkan bagi yang sholat untuk duduk iftirosi baik ketika duduk diantara dua sujud, duduk istirahat dan duduk ketika tahiyat awal mangacu pada hadits dari Abu Hamid As-sa’idi.

Sedangkan untuk tahiyat akhir disunahkan untuk duduk tawarruk baik yang Sholat dua rokaat, tiga rokaat atau empat rokaat. Dasarnya adalah hadits dari Abu Hamid As-sa’idi yang sebagian isi nya adalah “….ketika berada di rokaat yang ada salamnya (rokaat terakhir) Rosululloh Saw menyilangkan kaki kirinya lalu duduk pada sudut (pantat) -nya yang sebelah kiri” (HR Abu Daud dengan sanad yang shohih) dalam riwayat lain :

حتَّى إذا كانتِ الرَّكعةُ التي تنقضي فيها الصَّلاةُ، أخَّرَ رِجْلَه اليُسرى، وقعَد على شِقِّه متورِّكًا ثم سلَّمَ

“Nabi Saw jika sudah sampai pada rakaat terakhir salat, beliau menjulurkan kaki kirinya dan duduk langsung di lantai dalam keadaan tawarruk, kemudian salam.” (HR Abu Daud). Dalam riwayat yang shohih juga disebutkan “ketika berada pada rokaat yang menjadi penutup sholat, beliau mengeluarkan kaki kiri lalu duduk tawarruk diatas sudut kirinya” (HR Ibnu Hiban, HR Baihaqi dan merupakan hadits shohih). Al-hafidz Ibnu Hajar mengungkapkan “Hadits ini merupakan hujjah (dalil/argumentasi) yang Kuat bagi syafi’i dan yang sependapat dengannya bahwa cara duduk tahiyat awal berbeda dengan cara duduk tahiyat akhir. Syafi’i juga telah berargumentasi dengan hadits ini bahwa tahiyat sholat subuh seperti tahiyat akhir sholat selain subuh, berdasarkan kuumuman ucapan dalam hadits, “…..pada rokaat terakhir”

Disunnahkan pada rokaat kedua (terakhir) dalam sholat subuh untuk duduk tawarruk. Pada dasarnya cara duduk bagaimana pun dalam sholat boleh tetapi hal ini makruh secara ijma ulama kalau dilakukan tanpa suatu kepentingan sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Hajar. Ada riwayat yang shohih dalam masalah ini dari Abdulloh bin Abdulloh ia pernah melihat Ibnu Umar ra melakukan duduk tarobu’ dalam sholat, saya yang pada saat itu masih muda mengikutinya. Tetapi Ibnu umar melarang saya seraya berpesan “sunnah sholat Ialah meluruskan kaki kanan dan membengkokkan kaki kiri”.”tetapi engkau melakukannya?” Saya berkilah. “saya melakukan karena kaki saya tidak kuat menahan tubuh saya” ucap Ibnu Umar (HR Bukhori).
Saya juga pernah menyaksikan ada orang yang tubuhnya gemuk dia memaksakan untuk duduk tawarruk pada tahiyat akhir alih alih seperti dia yang hampir terjatuh ke sebelah kiri dan menyandar ke ma’mum/reka sholatnya di sebelah dan tangan kiri menahan agar tidak terguling, saya rasa dalam kondisi ini seharusnya disesuaikan dengan kemampuannya.

Juga dianjurkan bacaan tahiyat awal lebih pendek dibandingkan tahiyat akhir, bacaannya cukup sampai “Allohumma Sholli A’la Syayyidina Muhammad Wa A’la Ali Syayyidina Muhammad” Sudah cukup dan bangun untuk menyelesaikan rokaat selanjutnya. Dalil bahwa tahiyat Awal itu lebih ppendek adalah hadits Abu Hurairoh ra, Rosululloha Saw berkata :

إذا فرَغَ أحَدُكم مِن التشهُّدِ الآخِرِ، فلْيتعوَّذْ باللهِ مِن أربعٍ: يقولُ : اللهم ! إني أعوذُ بك من عذابِ جهنمَ . ومن عذابِ القبرِ . ومن فتنةِ المحيا والمماتِ . ومن شرِّ فتنةِ المسيحِ الدجالِ

“Jika salah seorang di antara kalian tahiyat akhir, maka setelah itu mintalah perlindungan kepada Allah dari empat hal, ucapkanlah:
“Allahumma inni a’udzubika min ‘adzabi jahannam, wamin ‘adzabil qabri, wamin fitnatil mahyaa wal mamaat, wamin syarri fitnatil masiihid dajjaal”
(Ya Allah, aku memohon perlindunganMu dari neraka Jahannam, dari adzab kubur, dari fitnah orang yang hidup dan juga orang yang sudah mati, dan dari keburukan fitnah Al Masih Ad Dajjal).” (HR. Muslim).
Dalil ini mengkhususkan di tahiyat akhir dan tidak di tahiyat awal sehingga bacaan tahiyat awal lebih pendek dari tahiyat akhir.

Bacaan tahiyat awal ada beberapa riwayat antara lain :
Dari Abdulloh bin Abbas ra d, dia berkata;

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يعلمنا التشهد كما يعلمنا السورة من القرأن فكان يقول: التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلَّهِ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ

“Rasulullah Saw. mengajari kami bacaan tahiyat sebagaimana beliau mengajari kami surah Alquran. Kemudian Ibnu Abbas berkata; “Attahiyyatul mubarokatush sholawatut toyyibatu lillah. Assalaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barokatuh. Assalaamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahish sholihin. Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar rosullah”.
(Artinya: Segala ucapan selamat, keberkahan, shalawat, dan kebaikan adalah bagi Allah. Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan kepadamu wahai Nabi beserta rahmat Allah dan barakah-Nya. Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan pula kepada kami dan kepada seluruh hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah utusan Allah).” (HR Muslim)

Dari Abdulloh Bin Mas’ud ra, dia berkata :

التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

“Attahiyyatu lillah, wash shalawatu wat thoyyibat. Assalaamu’alaika ayyuhan nabiyyu warahmatullahi wa barokatuh. Assalamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahish shoolihin. Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rosuluh (Artinya: Segala ucapan selamat bagi Allah, shalawat, dan kebaikan. Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan kepadamu wahai Nabi beserta rahmat Allah dan barakah-Nya. Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan pula kepada kami dan kepada seluruh hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hambaNa dan utusanNya).” (HR Bukhori)

Adapun bacaan sholawat pada tahiyat awal hanya sebatas pada “Allohumma Sholli A’la Muhammad Wa A’la Ali Muhammad” itu mengacu pada hadits dari Zaid bin Khorijah ra, berkata :

انا سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : صلوا علي واجتهدوا في الدعاء،وقولوا اللهم صل على محمد وعلى ال محمد

“Saya bertanya kepada Rasulullah Saw, kemudian beliau menjawab; bershalawat kalian kepadaku dan sungguh-sungguh dalam berdoa dan kaliah ucapkanlah, ‘Allahumma shalli ‘ala muhammadin wa ‘ala ali muhammadin” sehingga bacaan untuk tahiyat awal adalah :

التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلَّهِ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ اَللَهُم صَلِ عَلَى مُحَمدٍ وَعَلَى اَلِ مُحَمدٍ

“Attahiyyatul mubarokatush sholawatut toyyibatu lillah. Assalaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barokatuh. Assalaamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahish sholihin. Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rosuluh. Allahumma shalli ‘ala muhammad wa ‘ala ali muhammad.”

Imam syafii dalam kitabnya berkomentar terkait dengan hadits yang membaca sholawat ini “hadits ini (wallohu a’lam) merupakan dalil bahwa duduk pertama (tahiyat awal) bacaannya hanya bacaan tahiyat dan sholawat kepada Nabi Saw, dengannya saya menyuruh orang yang sholat, saya memakruhkan untuk ditambahkan tetepi tidak harus diulang dan tidak perlu sujud syahwi karenanya (karena bacaan nya Panjang seperti bacaan tahiyat akhir).

Lalu bagaimana dengan bacaan adanya lafadz “syayyiduna” dalam sholawat di tahiyat awal dan tahiyat akhir, ini dari Ibnu Mas’ud ia berkata “Jika kamu membaca sholawat kepada Rosululloh maka baguskanlah sholawatmu, karena kamu tidak akan tahu bahwa sholawatmu akan disodorkan kepada beliau. Orang orang berkata “ajarilah kami” lalu Ibnu Mas’ud berkata “bacalah : Allohummaj ‘al sholataka warohmataka wabarokatika a’la sayyidil mursalina wa imamil muttaqiina wa khotamin nabiyyina muhammadin abdika warosulika imamil khoiri wa qoidil khoiri wa rosulir rohmah. Allohummab ats maqomam mahmudan yaghbituhu bihil awwaluhu wa akhiruhu. Allohumma sholli a’la Muhammad wa a’la ali muhammad kama sholaita a’la ibrohim wa a’la ali ibrohim innaka hamidun majid. Allohumma barik a’la muhammad wa a’la ali muhammad kama barokta a’la ibrohim wa a’la ali Ibrohim innaka hamidun majid” (HR Abdur Rozaq dalam AL-mushannaf, Ismail Qodhi dalam Fadhlus Sholati a’lan Nabi Saw, HR Ibnu Majah merupakah hadits shohih), dalam tahiyat pada sholawat ditambahkan dengan kata syayyidina

اَلَّلهُمَّ صَلِّ عَلَي سَيِّدِنَا مُحَمّدْ

“Semoga Allah memberikan shalawat bagi junjungan kami, Nabi Muhammad…” jadi ada penambahan kata سَيِّدِنَا Sebelum kata Muhammad dan kata Ibrohim, ini menurut Imam Nawawi dalam kitabnya mengatakan Redaksi ini merupakan Redaksi sholawat nabi paling afdhol (utama) diamakan dengan sholawat kamilah atau sholawat ibrahimiyyah.

Rosululloh Saw pernah berkata :

أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَومَ القِيَامَةِ ، وَأَوَّلُ مَن يَنشَقُّ عَنهُ القَبرُ
“Saya adalah sayyid keturunan adam pada hari kiamat. Sayalah orang yang pertama kali terbelah kuburnya.” (HR. Muslim). Sementara Allah telah berfirman di dalam Surat Al-Fath ayat 8-9 menyatakan :

إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ

“Sesungguhnya Kami telah mengutusmu sebagai saksi, pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Agar kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta mengagungkan dan memuliakannya.”

Beberapa ulama dengan hadits dan ayat di atas menjadi layak dan semestinya bila sebagai umat memuliakan dan mengagungkan Rasulullah dengan menyertakan kata saayyidinâ saat bershalawat dan menyebut nama beliau. Namun ini sebagai bentuk pengagungan dan sikap sopan santun, kita pun jika di kantor atau sedang bergaul dengan orang tidak serta merta menyebut nama tapi diawali didepan dengan kata Bapak, ini adalah salah bentuk tatakrama kepada presiden Misalnya Apakah berani memanggil Suharto, Susilo, Joko saat sedang berhadap-hadapan, tentunya tidak pasti akan Diawali oleh Bapak / yang terhormat dst sebagai kata penghormatan.

Pendapat lain datang masih dari kalangan ulama syafiiyah (madzhab syafii) Ibnu Hajar Al-Asqalani pernah ditanya tentang lafadz shalawat yang benar, baik ketika shalat maupun di luar shalat. Apakah disyaratkan harus menggelari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ‘sayyidina’, misal dengan mengucapkan: ‘shalli ‘ala sayyidina Muhammad’ atau ‘shalli ‘ala sayyidi waladi adam’ ataukah cukup mengucapkan: “Allahumma shalli ‘alaa Muhammad”?
Mana yang lebih afdhal, menambahkan lafadz ‘sayyid’ karena kata ini termasuk sifat yang melekat pada diri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Ataukah tanpa diberi tambahan karena tidak ada dalil dalam masalah ini? Beliau menjawab:

نعم اتِّباعُ الألفاظ المأثورة أرجح ، ولا يقال : لعلَّه ترك ذلك تواضعاً منه صلى الله عليه وسلم كما لم يكن يقول عند ذكره : صلى الله عليه وسلم ، وأمّتهُ مندوبة إلى أن تقول ذلك كلما ذُكر ؛ لأنَّا نقول : لو كان ذلك راجحاً لجاء عن الصحابة ، ثم عن التابعين ، ولم نقِفْ في شيءٍ من الآثار عن أحدٍ من الصحابة ولا التابعين أنه قال ذلك ، مع كثرة ما ورد عنهم من ذلك.

“Benar, mengikuti lafadz shalawat yang ma’tsur (sesuai dalil) itu lebih didahulukan. Kita tidak boleh mengatakan: Bisa jadi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengajarkan demikian karena ketawadhuan beliau, sebagaimana beliau tidak membaca shalawat ketika nama beliau disebut, sementara umatnya dianjurkan membaca shalawat ketika nama beliau disebut. Kami beralasan, andaikan memberikan tambahan ‘sayyidina’ itu dianjurkan, tentu akan dipraktekkan para sahabat, kemdian tabi’in. Namun belum pernah aku jumpai adanya riwayat dari sahabat maupun tabiin yang mengucapkan kalimat itu. Padahal sangat banyak lafadz shalawat dari mereka”.

Jadi mau menambahkan syayyiduna atau tidak tidak ada masalah karena kedua ada dalil, shahabat Ibnu Mas’ud yang menambah kata syayyiduna dan beberapa ulama dan yang lainnya juga ada yang tidak menambahkan ini masalah ikhtilafiyyah yang penting membaca sholawat dalam tahiyat awal dan tahiyat akhir.

Posisi tagan ketika tahiyat awal adalah sebagaimana dalam hadits yang ada dari Abdullah bin Umar ra, ia berkata:

كان إذا جلَس في الصلاةِ ، وضَع كفَّه اليُمنى على فخِذِه اليُمنى . وقبَض أصابعَه كلَّها . وأشار بإصبَعِه التي تلي الإبهامَ . ووضَع كفَّه اليُسرى على فخِذِه اليُسرى

“Jika Nabi Saw duduk (tahiyat), beliau meletakkan telapak tangan kanannya di atas pahanya yang kanan. Kemudian menggenggam semua jari tangan kanannya, kemudian berisyarat dengan jari telunjuk yang ada di sebelah jempol. Dan beliau meletakkan tangan kirinya di atas paha kiri.” (HR. Muslim). Dengan Jari jari dihimpun kecuali jari telunjuk dan Ibu jari, jari telunjuk berisyarah dengan diangkat saat membaca “ Asyhadu Alla Ilaha Illaloh” dan tidak menggerak gerakan (bahkan makruh hukumnya kalau menggerakan menurut madzhab kami), isyarah hanya oleh jari tangan kanan tidak dengan yang lain (tangan kiri) dan jari telunjuk itu diangkat sampai salam, riwayat lain dari Ibnu Umar ra :
وأشار بأُصبُعِه الَّتي تلي الإبهامَ إلى القِبْلةِ ورمى ببصرِه إليها

“… beliau berisyarat dengan jari telunjuknya yang ada di sebelah jempol, ke arah kiblat, dan memandang jari tersebut.” (HR. Ibnu Hibban) dan masih dari riwayat dari Ibnu Umar ra berikut:

أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم ، كان إذا قعَد في التشَهُّدِ وضَع يدَه اليُسرى على رُكبتِه اليُسرى . ووضَع يدَه اليُمنى على رُكبتِه اليُمنى . وعقَد ثلاثةً وخمسينَ . وأشار بالسبابةِ

“Jika Nabi Saw duduk untuk tahiyat, beliau meletakkan telapak tangan kirinya di atas lutut kirinya. Dan beliau meletakkan tangan kanannya di lutut kanannya. Dan jarinya membentuk lima puluh tiga, sedangkan telunjuknya berisyarat ke kiblat.” (HR. Muslim), setelah tahiyat awal maka musholli (orang yang sholat) naik lagi untuk menyelesaikan rokaat berikutnya disunahkan mengangkat tangan ini mengacu pada hadits yang telah dibahas diawal yaitu dari riwayat Ibnu Umar ra dan Abu Said As-sa’idi “kemudian ketika bangun dari rokaat kedua, Rosululloh Saw bertakbir dan mengangkat kedua tangannya hingga lurus dengan bahu beliau, sebagaimana beliau bertakbir ketika membuka sholat” (HR Abu Daud dan yang lainnya dengan sanad yang shohih).

SUKUD DALAM SHOLAT




Sujud

Sujud secara bahasa adalah condong atau turun, sedangkan secara syara’ adalah menempelkan dahi pada Tanah, karena konteknya sujud dalam sholat jadi menempelkan dahinya orang yang sholat pada tempat sujud. Definisi yang saya ambil wikipedia cukup lengkap  karena mewakili semua jenis sujud yaitu perbuatan menempatkan dahi, hidung, kedua telapak tangan, kedua lutut, dan kedua ujung kaki pada kondisi serentak di lantai dengan tujuan tertentu karena Allah pada waktu dan saat-saat tertentu. Sujud ini menjadi rukun sholat, artinya jika kita tidak melakukannya maka batal/tidak sah sholatnya tetntunya dengan tuma’ninah, sujud merupakan bukti penghambaan kita kepada Alloh bagaimana tidak bagian anggota badan kita yaitu kepala menjadi bagian yang paling rendah bahkan lebih rendah posisinya dari pantat kita, ini menunjukkan bahwa kita ini hamba yang tidak ada apa-apa nya dihadapan Alloh yang Maha Gagah dan Maha Perkasa.
Alloh SWT telah berfirman ayat QS Al-naml 25-26 

أَلَّا يَسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي يُخْرِجُ الْخَبْءَ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَيَعْلَمُ مَا تُخْفُونَ وَمَا تُعْلِنُونَاللَّهُ * لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ  الْعَرْشِ الْعَظِيمِ

“Agar mereka tidak menyembah Allah Yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi dan Yang mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan, tiada Tuhan Yang disembah kecuali Dia, Tuhan Yang mempunyai 'Arsy yang besar”

Begitu juga dalam QS Al-hijr 98-99

فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَكُنْ مِنَ السَّاجِدِينَ
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ 

“maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat) dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)”
Perintah sujud ini sampai datang kepada kita ajal, artinya selama hayat masih dikandung badan sudah menjadi kewajiban kita agar terus bersujud dengan bertasbih dan memuji Alloh yang Maha Kuasa. 

Sujud juga merupakan saat dimana seorang hamba dekat dengan Alloh sebagaimana Rosululloh pernah utarakan

أَقَْربُ مَا يَكُوْنُ الْعَبْدِ مِنْ رَبِّهِ َوهُوَ سَاجِدً . فَأَكْثِرُوْا الدُعَا
“Sedekat-dekatnya seorang hamba dengan Robb-nya adalah ketika sujud, maka perbanyaklah  kalian berdoa (saat sujud)” (HR Ahmad dan HR. Muslim), redaksi lainnya dengan maksud yang sama 

أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ 
“Sedekat-dekatnya seorang hamba dengan Allah adalah saat ia sedang sujud, maka perbanyaklah kalian berdoa (saat sujud)” (HR Thobrani).

Syaikh Nawawi Banten memberikan penjelasan dalam kitabnya antara lain :

Pertama sujud dengan 7 anggota badan sesuai hadits : 
Rasulullah SAW bersabda : 

 أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الجَبْهَةِ، وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ وَاليَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ، وَأَطْرَافِ القَدَمَيْنِ  
“Saya diperintah untuk bersujud di atas tujuh anggota badan, yakni dahi—sambil tangan beliau menunjuk pada hidungnya--, kedua tangan, kedua kaki, dan ujung-ujung telapak kaki.” (HR. Imam Bukhari), jadi 7 anggota badan itu adalah kening/dahi, kedua telapak tangan, kedua lutut dan kedua telapak kaki.
Begitu pula dengan hidung yang diisarahkan oleh Rosululloh, dan adanya keterangan hadits lainnya yaitu hadits dari Abu Sa’id Al-khudri ra mengatakan “Nabi sholat bersama kami sampai saya melihat bekas debu basah dan air di dahi Rosululloh Saw dan ujung hidug beliau” (HR Bukhori)

Saat sujud disunahkan kedua telapak tangan diletakkan sejajar dengan bahu, jari-jari tangan dikumpulkan (dirapatkan) dengan mengarah ke kiblat berdasarkan hadits Abu Hamid As-Sa’idly ra “manakala sujud Rosululloh Saw meneguhkan kening dan hidungnya ke Tanah, beliau menjauhkan tangannya dari Tanah dan meletakkan tangan sejajar dengan bahu” (HR Turmudzi, HR Abu Daud dan HR Ibnu Khuzaimah) dan riwayat hadits dari Wail Bin Hujr bahwa Nabi Saw jika sujud, mengumpulkan (merapatkan) jari-jari tangannya (HR Hakim, HR Baihaqi dan yang lainnya merupakan hadits shohih)
Disunahkan juga merenggangkan kedua paha dan kaki, kira-kira satu jengkal atau kurang lebih dan ini juga mengacu pada hadits dari Abu Hamid As-Sa’idi yang mengatakan “bilamana sujud Rosululloh Saw merenggangkan paha nya dengan tanpa membebankan perutnya pada bagian pahanya” (HR Abu Daud dan HR Baihaqi), jadi posisi tangan jangan menyentuh tanah dan juga si perut jangan berimpit dengan paha.
Disunatkan juga bagian jari-jari kaki membuka dengan tumit yang tegak sehingga jari-jari ini menghadap kiblat.

Kedua, kening/dahi harus keadaan terbuka tidak ada yang menghalangi antara tempat sujud dengan kening/dahi keculai ada udzur syara, ada yang menghalangi maka tidak sah sujudnya dari hadits Sholih As-sabba’i “Rosululloh Saw melihat pria sujud dengan lambungnya sementara dahinya tertututp sorban, maka beliau menyingkirkan sorban itu dari dahinya” (HR Baihaqi dengan sanad yang mursal) dari Nafi bahwa Ibnu Umar ra manakala sujud dan ada sorban yang menutupinya , ia menyingkirkanya sehingga dahinya menempel langsung pada Tanah (HR Baihaqi dengan sanad yang shohih)

Ketiga, bertumpu kepada kepala maksudnya kening atau dahi jadi tidak pada anggota yang lainnya, Imam Nawawi dalam kitab Syarah Muhadzdzab mengemukan pandangannya bahwa yang shohih adalah tidak cukup dahi hanya menyentuh tanah / tempat sujud, ia harus diteguhkan dengan beban kepala dan leher sampai benar, bahas sundana mah jadi lamun tea mah aya kapas atau benda anu hipu pas sujud katingali urut sujud jiga tertekan eta bendana.

Keempat, condong atau sujudnya benar benar untuk sujud, misalnya ketika i’tidal dan akan sujud (belum sujud) tiba-tiba anak kita mendorong sehingga kita terjatuh dengan posisi seperti sujud terus kita niatkan sujud, tidak bisa harus naik i’tidal dan melakukan sujud dengan sempurna

Kelima, tidak sujud dengan sesuatu yang bergrak dan mengikuti kita, misalnya kita sholat memakai peci pas sujud peci itu menghalangi sujud (kening atau dahi) maka tidak sah sujud dan sholatnya, berbeda apabila kita sholat terus terus pas rukuk peci kita terjatuh atau anak kita menariknya dan menjatuhkan di posisi sujud kita lalu kita sujud diatas peci itu maka sah, karena kita tidak sujud dengan seseuatu yang mengikuti gerakan kita, begitu juga sorban atau baju koko yang tangannya kepanjangan.

Keenam, menjadikan posisi tubuh bagian bawah menjadi lebih tinggi dari tubuh bagian atas, maksudnya adalah posisi pantat menjadi lebih tinggi dari pundak dan kepala kita.

Ketujuh, harus/wajib tuma’ninah yaitu tenang atau diam sejenak.

DIsunnahkan turun bagian lutut dulu bukan tangan dulu dan disunahkan bertakbir apabila hendak sujud berdsarkan hadits dari Abu Hurairoh ra bahwa “..Rosululloh Saw bertakbir ketika turun..” (HR Bukhori dan HR Muslim) dan juga hadits dari Wail Bin Hujr ra berkata “saya telah melihat Rosulullloh Saw meletakkan kedua lututnya sebelum tangannya ketika akan sujud” (HR Abu Daud, HR Ibnu Hiban, HR Ibnu Majah, HR Turmudzi  dan HR Ibnu Khuzaimah)

Bacaan ketika sujud 
Dari hadits Hudzaifah ra, ia mengatakan, ia pernah shalat bersama Nabi Saw lantas Beliau Saw mengucapkan ketika rukuk “subhaana robbiyal azhim” dan ketika sujud, beliau mengucapkan

سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى
“artinya: Mahasuci Rabbku Yang Mahatinggi”. (HR Muslim dan HR Abu Daud). Bacaan lainnya adalah 

سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى وَبِحَمْدِهِ

“Artinya: Mahasuci Rabbku Yang Mahatinggi dan pujian untuk-Nya”. Ini dibaca tiga kali. (HR. Abu Daud) lengkapnya riwayat dari Imam Abu Daud, dari Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah saw. bersabda:

إذَا رَكَعَ أحَدُكُم فَلْيَقُلْ ثَلاَثَ مَرّاتٍ: سُبْحَانَ رَبّيَ الْعَظِيمِ ثَلاَثاً، وَذَلِكَ أدْنَاهُ، فإذَا سَجَدَ فَلْيَقُلْ: سُبْحَانَ رَبّيَ الأعْلَى ثَلاَثاً، وَذَلِكَ أدْنَاهُ.

“Jika salah satu dari kamu rukuk, maka ucapkanlah Subhanarabbiyal adzimi tiga kali, dan itu adalah batas minimal. Lalu jika salah satu dari kamu sujud, maka ucapkanlah subhana rabbiyal a’la tiga kali, dan itu adalah batas minimalnya.” (HR. Abu Daud). Bacaan berikutnya adalah riwayat dari Ali bin Abi Thalib ra, ia berkata bahwa ketika sujud Rasulullah Saw membaca : 

اللَّهُمَّ لَكَ سَجَدْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَلَكَ أَسْلَمْتُ، سَجَدَ وَجْهِي لِلَّذِي خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ، وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ، تَبَارَكَ اللهُ أَحْسَنُ الخَالِقِينَ

“Ya Allah, kepada-Mu lah aku bersujud, karena-Mu juga aku beriman, kepada-Mu juga aku berserah diri. Wajahku bersujud kepada Penciptanya, yang Membentuknya, yang Membentuk pendengaran dan penglihatannya. Mahasuci Allah Sebaik-baik Pencipta” (HR. Muslim) dan dari Abu Hurairah ra, Rasulullah Saw membaca ketika sujudnya :

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي كُلَّهُ : دِقَّهُ وَجِلَّهُ ، وَأَوَّلَهُ وَآخِرَهُ ، وَعَلاَنِيَتَهُ وَسِرَّهُ

“Ya Allah ampunilah seluruh dosaku, yang kecilnya dan besarnya, yang pertamanya dan terakhirnya, yang terang-terangannya dan rahasianya” (HR. Muslim) dan masih ada lagi bacaan/doa ketika sujud dengan riwayat lainnya. Imam Syafii mengatakan saya senang jika dalam sujud seseorang membaca “subhaana robbiyal a’la” 3 kali, minimal 1 kali, bahkan boleh jika kita membaca 5 kali 7 kali bahkan sampai 11 kali hanya menurut imam syafii melarang imam dalam sholat fardu mambaca lebih dari 3 kali karena hawatir memberatkan ma’mum. wallohu a’lam

Duduk diantara dua sujud Dalam Sholat


Duduk diantara dua sujud

Duduk diantara dua sujud merupakan rukun sholat oleh kerena itu tidak sah manakala seseorang meninggalkannya, hal ini masih mengacu pada hadits yang awal tentang orang yang buruk sholatnya “….lalu sujudlah kamu, sampai thuma’ninah saat sujud, kemudian bangunlah sampai thuma’ninah dalam keadaan bangun lantas sujud hingga thuma’ninah di waktu sujud…” (HR Bukhori dan HR Muslim) dan juga disyaratkan untuk tumahninah.

Ketika hendak bangun dari sujud pertama untuk duduk diantara dua sujud disunahkan untuk bertakbir sebagaimana hadits Abu Hurairoh ra dalam menyifati sholat Nabi Saw “kemudian Rosululloh Saw bertakbir saat turun (dari i’tidal menuju sujud), kemudian bertakbir saat mengangkat kepala pada sujud pertama. Setelah itu bertakbir ketika sujud (maksudnya sujud kedua)…..”(HR Bukhori dan HR Muslim)

Disunahkan dalam duduk diantara dua sujud duduk iftirosi yaitu menegakkan kaki kanan sama dengan ketika sujud sedangkan telapak kaki kiri dibaringkan dan dibengkokkan untuk diduduki. Dalilanya adalah hadits dari Abu Hamid As-sa’idi ra, Rosululloh Saw menyebutkan “Lalu Beliau Saw mengangkat kepalanya dan membengkokkan kaki kiri kemudian beliau duduk diatasnya “ (HR Abu Daud dan yang lainnya dengan sanad yang shohih), masih dari riwayat Abu Hamid As-sa’idi ra. beliau berkata:

فَإِذَا جَلَس فِي الرَكعَتَين جَلَس على رجلٌه اليسرى، ونصب اليمنى، وإذا جلس في الركعة الآخرة، قدم رجلٌه اليسرى، ونصب الأخرى، وقعد على مقعدته

“Nabi Saw jika duduk dalam salat di dua rakaat pertama beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan. Jika beliau duduk di rakaat terakhir, beliau mengeluarkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya dan duduk di atas lantai.”(HR. Bukhori dan HR Muslim). Dalam riwayat lain:

ثُمَّ ثَنَى رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ عَلَيْهَا ثُمَّ اعْتَدَلَ حَتَّى يَرْجِعَ كُلُّ عَظْمٍ فِى مَوْضِعِهِ مُعْتَدِلاً ثُمَّ أَهْوَى سَاجِدًا
“Kemudian kaki kiri ditekuk dan diduduki. Kemudian badan kembali diluruskan hingga setiap anggota tubuh kembali pada tempatnya. Lalu turun sujud kembali.” (HR. Turmudzi dengan hadits hasan shohih). Dianjurkan agar kedua tangan diletakkan diatas lutut sedangkan jari jari (dengan rapat) diarahkan ke kiblat berdasarkan HR Bukhori, HR Abu Daud dan HR Ibnu Hiban.

Doa ketika duduk diantara dua sujud disunnahkan untuk membaca hadits dari riwat Ibnu Abbas ra beliau berkata:

انَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ يقولُ بينَ السَّجدتينِ في صلاةِ اللَّيلِ ربِّ اغفِر لي وارحَمني واجبُرني وارزُقني وارفَعني

“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika duduk di antara dua sujud pada salat malam beliau membaca: Robbighfirlii warahmnii, wajburnii, warzuqnii, warfa’nii (artinya: Ya Allah ampunilah aku, rahmatilah aku, cukupkanlah aku, berilah rezeki dan tinggikanlah derajatku)” (HR. Ibnu Majah). Bcaan lainnya adalah masih dari Ibnu Abbas ra beliau berkata:

اللَّهمَّ اغفِر لي وارحَمني وَعَافِنِيْ واهدِني وارزُقني. واجبُرني وارفَعني

“Allohummagfirli warhamni, wa afini, wahdini, warzukni, wajburni warfa’ni (Ya Alloh ampunilah aku, kasihilah aku, sehatkanlah aku, berilah aku hidayah, karuniakan aku rizki, cukupkanlah aku dan angkatla derajatku” (HR Baihaqi, HR Thobroni dan merupakan hadits shohih). Bagaimana jika menambah doa lagi selain doa diatas silahkan seperti yang Imam Gozali ada redaksi wa’fu anni…wallohu a’lam

Berbuka Puasa

Berbuka Puasa 

Berbuka puasa merupakan ibadah bahkan kita disunnahkan untuk menyegerakan dalam hal berbuka ini mengacu pada dalil dari Ibnu Hajar:
وَعَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
“Dari Sahl bin Sa’ad ra, bahwa Rasulullah Saw bersabda : “Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan waktu berbuka.” (Muttafaqun ‘alaih, shohih disepakati oleh ulama-ulama ahli hadits)
Dari keterangan hadits lainnya adalaha riwayat dari Abu Hurairoh ra : 
وَلِلتِّرْمِذِيِّ مِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ : أَحَبُّ عِبَادِي إلَيَّ أَعْجَلُهُمْ فِطْرًا
Dalam riwayat Tirmidzi disebutkan dari hadits Abu Hurairah ra, dari Nabi Saw, beliau bersabda : Allah Ta’ala berfirman, “Hamba yang paling dicintai di sisi-Ku adalah yang menyegerakan waktu berbuka puasa.”. Jadi jelas sekali disini kita dianjurkan untuk segera buka danhukumnya adalah Sunnah. 
Berbuka disunahkan juga dengan buah qurma jika tidak ada cukup dengan air, sudah menjadi kebiasaaan yang beredar di masyarakat bahwa berbuka dengan yang manis manis, istilah manis manis mungkin karena qurma adalah makanan yang manis sehingga banyak yang berbuka dengan minuman manis, teh manis dan yang manis manis lainnya. Rekadsi hadits nya adalah sebagi berikut :
 “Dari Anas bin Malik, ia berkata : Nabi Saw biasa berbuka puasa sebelum shalat (sholat Magrb) dengan ruthab (qurma basah),  jika tidak ada ruthab, maka beliau berbuka dengan tamr (qurma kering), dan jika tidak ada tamr, beliau meminum seteguk air” (HR Abu Dawud, HR Ad-Daruquthni dan HR Hakim)
Para ulama dari kalangan Madzhab Syafiiyah berpendapat bahwa dari keterangan hadits ini adalah berbuka dengan qurma apabila tidak ada maka cukup dengan air ini menurut Syaikhona (dalam kitab kuning kalau dalam istilah ilmu fiqh yang dimaksud dengan Syaikhona adalah Imam Nawawi dan Imam Rofii) 
“Syaikhan (An Nawawi dan Ar Rafi’i) mengatakan: ‘tidak ada yang lebih afdhal dari qurma selain air minum’. Maka pendapat Ar Rauyani bahwa makanan manis itu lebih afdhal dari air adalah pendapat yang lemah” ini yang ada dalam kitab fathul mu’in sedangkan pendapat Ar-rauyani dengan yang manis manis ada dalam kitab kifayatul ahyar :  “dianjurkan berbuka dengan kurma atau jika tidak ada maka dengan air, berdasarkan hadits ini. karena yang manis-manis itu menguatkan tubuh dan air itu membersihkan tubuh. Ar Rauyani berkata: ‘kalau tidak ada qurma maka dengan yang manis-manis. karena puasa itu melemahkan pandangan dan kurma itu menguatkannya, dan yang manis-manis itu semakna dengan qurma” disini Ar-rauyani (merupakan ulama madzhab syafii) menggunakan qiyas jadi karena qurma manis maka bisa digantikan dengan yang lainnya yang sama-sama manis, bahkan beliaubisa menggantikan yang manis dengan susu atau madu, tetapi banyak penolakan terkait pendapatnya begitu juga imam as-syayuti (madzhab syafii), jadi yang afdol jika ada qurma maka berbuka dengan qurma tetapi jika tidak ada cukup dengan air putih/air zamzam ini yang lebih Utama.
Lalu bagaimana dengan doa berbukan puasa, selama ini kita mengamalkan doa yang sudah ada dan turun temurun dari orang tau kita, tetapi entahlah akhir akhir ini ada beberapa orang yang menganggaf doa tersebut dhoif dan ada istilah “doa berbuka pausa yang sesuai Sunnah” keren emang propagandanya, seolah olah do’a yang kita amalkan bukan Sunnah, mari kita bahas sedikit. 
Hadits lengkap nya adalah sebagai berikut :
حدثنا عبد الله بن محمد بن يحيى أبو محمد حدثنا علي بن الحسن أخبرني الحسين بن واقد حدثنا مروان يعني ابن سالم المقفع قال رأيت ابن عمر يقبض على لحيته فيقطع ما زاد على الكف وقال كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله 

Artinya, “Kami mendapat riwayat dari Abdullah bin Muhammad bin Yahya, yaitu Abu Muhammad, kami mendapat riwayat dari Ali bin Hasan, kami mendapat riwayat dari Husein bin Waqid, kami mendapat riwayat dari Marwan, yaitu Bin Salim Al-Muqaffa‘, ia berkata bahwa aku melihat Ibnu Umar menggenggam jenggotnya, lalu memangkas sisanya. Ia berkata, Rasulullah bila berbuka puasa membaca, ‘Dzahabaz zhama’u wabtallatil ‘urûqu wa tsabatal ajru, insyâ Allah’,” (HR Abu Dawud)
sementara doa yang biasa masyarakat kita amalkan adalah :
اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت

Doa yang biasa kita baca ini bersumber dari riwayat Imam Bukhari dan Muslim sebagai keterangan Syekh M Khatib As-Syarbini berikut ini: 
وأن يقول عقب فطره اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت لانه صلى الله عليه وسلم  كان يقول ذلك رواه الشيخان 
Artinya, “(Mereka yang berpuasa) dianjurkan setelah berbuka membaca, ‘Allâhumma laka shumtu, wa ‘alâ rizqika afthartu.’ karena Rasulullah SAW mengucapkan doa ini yang diriwayatkan Syaikhoni” (maksudnya adalah Imam Bukhari dan Muslim), kalau dilihat dari derajat dan kesepakatan hadits jelas ini lebih shohih dari pada riwayat dari abu daud menurut ulama ahli hadits, jadi jangan ragu yang sudah mengamalkan silahkan dilanjutkan yang mengamalkan doa yang baru juga silahkan ke duanya punya dasar. Bahkan dalam kitab Hasyiyah, Syaikh Sulaiman Al-bujairomi menyusun doa berbuka puasa dengan menggabungkan dari 2 hadits ini redaksinya seperti berikut : 
 اللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ ويسن أن يزيد على ذلك وَبِكَ آمَنْتُ، وَبِكَ وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ. ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ العُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شاءَ اللهُ. يا وَاسِعَ الفَضْلِ اِغْفِرْ لِي الحَمْدُ لِلهِ الَّذِي هَدَانِي فَصُمْتُ، وَرَزَقَنِي فَأَفْطَرْتُ. 

Artinya, “Allâhumma laka shumtu wa ‘alâ rizqika afthartu “dianjurkan/disunnahkan untuk menambahkan”  wa bika âmantu, wa bika wa ‘alaika tawakkaltu. Dzahabaz zhama’u, wabtallatil ‘urûqu, wa tsabatal ajru, insyâ Allah. Yâ wâsi‘al fadhli, ighfir lî. Alhamdulillâhil ladzî hadânî fa shumtu, wa razaqanî fa afthartu,” 
Artinya, “Tuhanku, hanya untuk-Mu aku berpuasa. Dengan rezeki-Mu aku membatalkannya. Sebab dan kepada-Mu aku berpasrah. Dahaga telah pergi. Urat-urat telah basah. Dan insya Allah pahala sudah tetap. Wahai Zat Yang Luas Karunia, ampuni aku. Segala puji bagi Tuhan yang memberi petunjuk padaku, lalu aku berpuasa. Dan segala puji Tuhan yang memberiku rezeki, lalu aku membatalkannya.”
Jadi silahkan mau mengamalkan yang mana, lalu kapan mengucapkan doa itu, jadi menurut keterangan yang ada di dalam kitab kitab fiqh (dan jika melihat redaksi hadist-nya) yang benar adalah mengucapkannya manakala kita sudah berbuka baru membaca doa tersebut bukan membaca dulu lalu berikutnya berbuka, untuk berbuka baik makan qurma atau minum air cukup ucapkan bismillahir rohmanir rohim…walloh a’lam

Sujud kedua Dalam Sholat



Sujud kedua

Sujud kedua adalah wajib dan merupakan rukun sholat, Hadits orang yang buruk sholatnya diawal awal sudah dengan jelas ketika Rosululloh Saw mengajarkan tentang sholat. Cara sujud kedua sama seperti sujud yang pertama begitu juga bacaannya.

Lalu bangun dari sujud kedua dengan mengangkat kepala, kemudian duduk istirahat sejenak dengan cara duduk iftirosi setelah rokaat pertama menuju rokaat kedua dan sesudah rokaat ketiga sebelum bangun berdiri untuk rokaat keempat. Ada hadits antara lain Malik bin Huwairits ra behwa ia menyaksikan Rosululloh Saw sholat pada rokaat ganjil beliau duduk lurus sebelum bangkit (HR Bukhori). Dalam hadits Abu Hamid As-sa’idi yang menyifati sholat Nabi Saw ia menuturkan “Kemudian Nabi Saw turun untuk sujud (kedua) lantas mengucapkan “Alloohu Akbar” setelah itu beliau membengkokkan kaki kirinya seraya duduk lurus sampai setiap tulang kembali ke tempatnya (duduk iftirosi). Lalu bangkit. Pada rokaat kedua beliaun melakukan hal yang sama” (HR Turmudzi dan yang lainnya yang merupakan hadits shohih).

Imam Nawawi Dalam kitabnya (syarah muhadzdzab) berkata “ketahuilah selayaknya bagi setiap orang untuk selalu melakukan duduk istirahat ini kerena shohihnya hadits tentangnya dan tidak ada hadits lain yang shohih yang bertentangan dengannya. Maka janganlah anda tertipu oleh banyaknya orang yang meninggalkannya”

Ini sejalan dengan QS Al-hasyr (59) : 7 “Apa yang didatangkan oleh Rosul kepada mu, maka ambillah”

Tidak boleh mengangkat tangan dasarnya adalah hadits dari Ibnu Umar ra dan juga dari Ali bin Abi Tholib ra “Rosululloh tidak mengangkat tangannya sedikitpun dalam sholatnya saat beliau duduk” (HR Turmudzi dan HR Bukhori, merupakan hadits shohih) . Hadits yang mengatakan bahwa Rosululloh Saw mangangkat tangannya ketika turun dan bangun dari sujud adalah hadits mawdhu’ (palsu) diriwatkan oleh Thohawi dalam kitabnya dan dalam Fathul Bari Imam Ibnu Hajar bahwa Imam Bukhori telah mendhoifkan dan Ibnu Hajar sendiri menghukuminya sebagai riwayat yang syadz (menyalahi riwayat perawi yang lebih syiqoh, ceuk bahasa sunda na mah mahiwal). Menurut Muhaddist Abdulloh Shiddiq Al-ghommari Al-hasani perowi salah meriwatkan jadi dihukumi sebagai hadits mawdhu’ (palsu). Dan juga yang disunnahkan adalah bangun dengan bertahan pada telapak tangan terbuka tanpa dihimpun dan melanjutkan pada rokaat rokaat berikutnya (tidak ada lagi membaca doa iftitah, cukup pada rokaat pertama saja). Rokaat kedua sama pelaksanaannya seperti rokaat pertama hanay saja di rokaat kedua disunnahkan untuk lebih pendek membaca suratnya dibandingkan rokaat pertama sedangkan pada rokaat ke tiga dan keempat tidak ada baccan surat setelah membaca surat Al-fatihah. Walloh a’lam

DIKLAT Calon Kepala Sekolah Kab. Bandung Tahap 2 Tahun 2021

Puji syukur kehadirat All o h Subhanahu Wata’ala yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas On The...