Tahiyat Awal
Tahiyat Awal ada pada sholat yang tiga rokaat dan empat rokaat, maka disunahkan untuk duduk tahiyyat pada rokaat kedua, hukumnya sunnah ab’ad, jika kita meninggalkannya maka kita dianjurkan untuk sujud sahwi apabila kita meninggalkannya, tetapi tidak membatalkan sholat jika kita meninggalkannya berbeda dengan kalau kita tidak membaca surat alfatihah atau rukuk, ini menurut pendapat Madzhab Imam Syafi’i. Imam Bukhori telah meriwayatkan hadits Abdullah Bin Buhainah ra, berkata :
أنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم صلَّى بهم الظُّهرَ، فقام في الرَّكعتينِ الأُوليَيْنِ، لم يجلِسْ، فقام النَّاسُ معه، حتَّى إذا قضى الصَّلاةَ، وانتظَرَ النَّاسُ تسليمَه،كبَّرَ وهو جالسٌ، فسجَد سجدتينِ قبْلَ أنْ يُسلِّمَ، ثم سلَّمَ
“Nabi Saw Sholat Zhuhur bersama mereka (para shahabat). Lalu bangun dari rokaat kedua tanpa duduk terlebih dahulu. Orang-orang pun ikut bangun (tidak duduk tahiyat awal). Usai sholat (ketika orang-orang menunggu Beliau Saw mengucapkan salam) beliau bertakbir sambil duduk lalu melakukan sujud dua kali sebelum salam. Setelah itu Beliau Saw salam” (HR BUkhori dalam Fathul Bari , HR Muslim dan yang lainnya). Ibnu Hajar dalam Fathul Bari mengatakan “dalam hadits bab ini disimpulkan jika Tahiyyat awal hukumnya wajib, tentu beliau (Rosululloh Saw) kembali kepadanya saat orang-orang bertasbih (mengingatkan beliau) ketika beliau bangun….”
Pada saat tahiyat Awal disunahkan untuk duduk iftirosi, ini mengacu pada hadits Abu Hamid As-sa’idi ra, ia berkata :
keumuman hadis Abu Humaid As Sa’idi radhiallahu’anhu beliau berkata:
فإذا جلس في الركعتين جلس على رجلٌه اليسرى، ونصب اليمنى، وإذا جلس في الركعة الآخرة، قدم رجلٌه اليسرى، ونصب الأخرى، وقعد على مقعدته
“Tatkala duduk pada rokaat kedua Rosululloh Saw duduk diatas kaki kirinya dengan meluruskan kaki kanan. Manakala duduk pada rokaat terakhir beliau mendahulukan kaki kiri dan meluruskan kaki yang satunya serta duduk pada tempat duduk nya” (HR Bukhori)
Disunnahkan bagi yang sholat untuk duduk iftirosi baik ketika duduk diantara dua sujud, duduk istirahat dan duduk ketika tahiyat awal mangacu pada hadits dari Abu Hamid As-sa’idi.
Sedangkan untuk tahiyat akhir disunahkan untuk duduk tawarruk baik yang Sholat dua rokaat, tiga rokaat atau empat rokaat. Dasarnya adalah hadits dari Abu Hamid As-sa’idi yang sebagian isi nya adalah “….ketika berada di rokaat yang ada salamnya (rokaat terakhir) Rosululloh Saw menyilangkan kaki kirinya lalu duduk pada sudut (pantat) -nya yang sebelah kiri” (HR Abu Daud dengan sanad yang shohih) dalam riwayat lain :
حتَّى إذا كانتِ الرَّكعةُ التي تنقضي فيها الصَّلاةُ، أخَّرَ رِجْلَه اليُسرى، وقعَد على شِقِّه متورِّكًا ثم سلَّمَ
“Nabi Saw jika sudah sampai pada rakaat terakhir salat, beliau menjulurkan kaki kirinya dan duduk langsung di lantai dalam keadaan tawarruk, kemudian salam.” (HR Abu Daud). Dalam riwayat yang shohih juga disebutkan “ketika berada pada rokaat yang menjadi penutup sholat, beliau mengeluarkan kaki kiri lalu duduk tawarruk diatas sudut kirinya” (HR Ibnu Hiban, HR Baihaqi dan merupakan hadits shohih). Al-hafidz Ibnu Hajar mengungkapkan “Hadits ini merupakan hujjah (dalil/argumentasi) yang Kuat bagi syafi’i dan yang sependapat dengannya bahwa cara duduk tahiyat awal berbeda dengan cara duduk tahiyat akhir. Syafi’i juga telah berargumentasi dengan hadits ini bahwa tahiyat sholat subuh seperti tahiyat akhir sholat selain subuh, berdasarkan kuumuman ucapan dalam hadits, “…..pada rokaat terakhir”
Disunnahkan pada rokaat kedua (terakhir) dalam sholat subuh untuk duduk tawarruk. Pada dasarnya cara duduk bagaimana pun dalam sholat boleh tetapi hal ini makruh secara ijma ulama kalau dilakukan tanpa suatu kepentingan sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Hajar. Ada riwayat yang shohih dalam masalah ini dari Abdulloh bin Abdulloh ia pernah melihat Ibnu Umar ra melakukan duduk tarobu’ dalam sholat, saya yang pada saat itu masih muda mengikutinya. Tetapi Ibnu umar melarang saya seraya berpesan “sunnah sholat Ialah meluruskan kaki kanan dan membengkokkan kaki kiri”.”tetapi engkau melakukannya?” Saya berkilah. “saya melakukan karena kaki saya tidak kuat menahan tubuh saya” ucap Ibnu Umar (HR Bukhori).
Saya juga pernah menyaksikan ada orang yang tubuhnya gemuk dia memaksakan untuk duduk tawarruk pada tahiyat akhir alih alih seperti dia yang hampir terjatuh ke sebelah kiri dan menyandar ke ma’mum/reka sholatnya di sebelah dan tangan kiri menahan agar tidak terguling, saya rasa dalam kondisi ini seharusnya disesuaikan dengan kemampuannya.
Juga dianjurkan bacaan tahiyat awal lebih pendek dibandingkan tahiyat akhir, bacaannya cukup sampai “Allohumma Sholli A’la Syayyidina Muhammad Wa A’la Ali Syayyidina Muhammad” Sudah cukup dan bangun untuk menyelesaikan rokaat selanjutnya. Dalil bahwa tahiyat Awal itu lebih ppendek adalah hadits Abu Hurairoh ra, Rosululloha Saw berkata :
إذا فرَغَ أحَدُكم مِن التشهُّدِ الآخِرِ، فلْيتعوَّذْ باللهِ مِن أربعٍ: يقولُ : اللهم ! إني أعوذُ بك من عذابِ جهنمَ . ومن عذابِ القبرِ . ومن فتنةِ المحيا والمماتِ . ومن شرِّ فتنةِ المسيحِ الدجالِ
“Jika salah seorang di antara kalian tahiyat akhir, maka setelah itu mintalah perlindungan kepada Allah dari empat hal, ucapkanlah:
“Allahumma inni a’udzubika min ‘adzabi jahannam, wamin ‘adzabil qabri, wamin fitnatil mahyaa wal mamaat, wamin syarri fitnatil masiihid dajjaal”
(Ya Allah, aku memohon perlindunganMu dari neraka Jahannam, dari adzab kubur, dari fitnah orang yang hidup dan juga orang yang sudah mati, dan dari keburukan fitnah Al Masih Ad Dajjal).” (HR. Muslim).
Dalil ini mengkhususkan di tahiyat akhir dan tidak di tahiyat awal sehingga bacaan tahiyat awal lebih pendek dari tahiyat akhir.
Bacaan tahiyat awal ada beberapa riwayat antara lain :
Dari Abdulloh bin Abbas ra d, dia berkata;
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يعلمنا التشهد كما يعلمنا السورة من القرأن فكان يقول: التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلَّهِ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ
“Rasulullah Saw. mengajari kami bacaan tahiyat sebagaimana beliau mengajari kami surah Alquran. Kemudian Ibnu Abbas berkata; “Attahiyyatul mubarokatush sholawatut toyyibatu lillah. Assalaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barokatuh. Assalaamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahish sholihin. Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar rosullah”.
(Artinya: Segala ucapan selamat, keberkahan, shalawat, dan kebaikan adalah bagi Allah. Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan kepadamu wahai Nabi beserta rahmat Allah dan barakah-Nya. Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan pula kepada kami dan kepada seluruh hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah utusan Allah).” (HR Muslim)
Dari Abdulloh Bin Mas’ud ra, dia berkata :
التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
“Attahiyyatu lillah, wash shalawatu wat thoyyibat. Assalaamu’alaika ayyuhan nabiyyu warahmatullahi wa barokatuh. Assalamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahish shoolihin. Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rosuluh (Artinya: Segala ucapan selamat bagi Allah, shalawat, dan kebaikan. Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan kepadamu wahai Nabi beserta rahmat Allah dan barakah-Nya. Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan pula kepada kami dan kepada seluruh hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hambaNa dan utusanNya).” (HR Bukhori)
Adapun bacaan sholawat pada tahiyat awal hanya sebatas pada “Allohumma Sholli A’la Muhammad Wa A’la Ali Muhammad” itu mengacu pada hadits dari Zaid bin Khorijah ra, berkata :
انا سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : صلوا علي واجتهدوا في الدعاء،وقولوا اللهم صل على محمد وعلى ال محمد
“Saya bertanya kepada Rasulullah Saw, kemudian beliau menjawab; bershalawat kalian kepadaku dan sungguh-sungguh dalam berdoa dan kaliah ucapkanlah, ‘Allahumma shalli ‘ala muhammadin wa ‘ala ali muhammadin” sehingga bacaan untuk tahiyat awal adalah :
التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلَّهِ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ اَللَهُم صَلِ عَلَى مُحَمدٍ وَعَلَى اَلِ مُحَمدٍ
“Attahiyyatul mubarokatush sholawatut toyyibatu lillah. Assalaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barokatuh. Assalaamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahish sholihin. Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rosuluh. Allahumma shalli ‘ala muhammad wa ‘ala ali muhammad.”
Imam syafii dalam kitabnya berkomentar terkait dengan hadits yang membaca sholawat ini “hadits ini (wallohu a’lam) merupakan dalil bahwa duduk pertama (tahiyat awal) bacaannya hanya bacaan tahiyat dan sholawat kepada Nabi Saw, dengannya saya menyuruh orang yang sholat, saya memakruhkan untuk ditambahkan tetepi tidak harus diulang dan tidak perlu sujud syahwi karenanya (karena bacaan nya Panjang seperti bacaan tahiyat akhir).
Lalu bagaimana dengan bacaan adanya lafadz “syayyiduna” dalam sholawat di tahiyat awal dan tahiyat akhir, ini dari Ibnu Mas’ud ia berkata “Jika kamu membaca sholawat kepada Rosululloh maka baguskanlah sholawatmu, karena kamu tidak akan tahu bahwa sholawatmu akan disodorkan kepada beliau. Orang orang berkata “ajarilah kami” lalu Ibnu Mas’ud berkata “bacalah : Allohummaj ‘al sholataka warohmataka wabarokatika a’la sayyidil mursalina wa imamil muttaqiina wa khotamin nabiyyina muhammadin abdika warosulika imamil khoiri wa qoidil khoiri wa rosulir rohmah. Allohummab ats maqomam mahmudan yaghbituhu bihil awwaluhu wa akhiruhu. Allohumma sholli a’la Muhammad wa a’la ali muhammad kama sholaita a’la ibrohim wa a’la ali ibrohim innaka hamidun majid. Allohumma barik a’la muhammad wa a’la ali muhammad kama barokta a’la ibrohim wa a’la ali Ibrohim innaka hamidun majid” (HR Abdur Rozaq dalam AL-mushannaf, Ismail Qodhi dalam Fadhlus Sholati a’lan Nabi Saw, HR Ibnu Majah merupakah hadits shohih), dalam tahiyat pada sholawat ditambahkan dengan kata syayyidina
اَلَّلهُمَّ صَلِّ عَلَي سَيِّدِنَا مُحَمّدْ
“Semoga Allah memberikan shalawat bagi junjungan kami, Nabi Muhammad…” jadi ada penambahan kata سَيِّدِنَا Sebelum kata Muhammad dan kata Ibrohim, ini menurut Imam Nawawi dalam kitabnya mengatakan Redaksi ini merupakan Redaksi sholawat nabi paling afdhol (utama) diamakan dengan sholawat kamilah atau sholawat ibrahimiyyah.
Rosululloh Saw pernah berkata :
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَومَ القِيَامَةِ ، وَأَوَّلُ مَن يَنشَقُّ عَنهُ القَبرُ
“Saya adalah sayyid keturunan adam pada hari kiamat. Sayalah orang yang pertama kali terbelah kuburnya.” (HR. Muslim). Sementara Allah telah berfirman di dalam Surat Al-Fath ayat 8-9 menyatakan :
إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ
“Sesungguhnya Kami telah mengutusmu sebagai saksi, pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Agar kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta mengagungkan dan memuliakannya.”
Beberapa ulama dengan hadits dan ayat di atas menjadi layak dan semestinya bila sebagai umat memuliakan dan mengagungkan Rasulullah dengan menyertakan kata saayyidinâ saat bershalawat dan menyebut nama beliau. Namun ini sebagai bentuk pengagungan dan sikap sopan santun, kita pun jika di kantor atau sedang bergaul dengan orang tidak serta merta menyebut nama tapi diawali didepan dengan kata Bapak, ini adalah salah bentuk tatakrama kepada presiden Misalnya Apakah berani memanggil Suharto, Susilo, Joko saat sedang berhadap-hadapan, tentunya tidak pasti akan Diawali oleh Bapak / yang terhormat dst sebagai kata penghormatan.
Pendapat lain datang masih dari kalangan ulama syafiiyah (madzhab syafii) Ibnu Hajar Al-Asqalani pernah ditanya tentang lafadz shalawat yang benar, baik ketika shalat maupun di luar shalat. Apakah disyaratkan harus menggelari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ‘sayyidina’, misal dengan mengucapkan: ‘shalli ‘ala sayyidina Muhammad’ atau ‘shalli ‘ala sayyidi waladi adam’ ataukah cukup mengucapkan: “Allahumma shalli ‘alaa Muhammad”?
Mana yang lebih afdhal, menambahkan lafadz ‘sayyid’ karena kata ini termasuk sifat yang melekat pada diri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Ataukah tanpa diberi tambahan karena tidak ada dalil dalam masalah ini? Beliau menjawab:
نعم اتِّباعُ الألفاظ المأثورة أرجح ، ولا يقال : لعلَّه ترك ذلك تواضعاً منه صلى الله عليه وسلم كما لم يكن يقول عند ذكره : صلى الله عليه وسلم ، وأمّتهُ مندوبة إلى أن تقول ذلك كلما ذُكر ؛ لأنَّا نقول : لو كان ذلك راجحاً لجاء عن الصحابة ، ثم عن التابعين ، ولم نقِفْ في شيءٍ من الآثار عن أحدٍ من الصحابة ولا التابعين أنه قال ذلك ، مع كثرة ما ورد عنهم من ذلك.
“Benar, mengikuti lafadz shalawat yang ma’tsur (sesuai dalil) itu lebih didahulukan. Kita tidak boleh mengatakan: Bisa jadi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengajarkan demikian karena ketawadhuan beliau, sebagaimana beliau tidak membaca shalawat ketika nama beliau disebut, sementara umatnya dianjurkan membaca shalawat ketika nama beliau disebut. Kami beralasan, andaikan memberikan tambahan ‘sayyidina’ itu dianjurkan, tentu akan dipraktekkan para sahabat, kemdian tabi’in. Namun belum pernah aku jumpai adanya riwayat dari sahabat maupun tabiin yang mengucapkan kalimat itu. Padahal sangat banyak lafadz shalawat dari mereka”.
Jadi mau menambahkan syayyiduna atau tidak tidak ada masalah karena kedua ada dalil, shahabat Ibnu Mas’ud yang menambah kata syayyiduna dan beberapa ulama dan yang lainnya juga ada yang tidak menambahkan ini masalah ikhtilafiyyah yang penting membaca sholawat dalam tahiyat awal dan tahiyat akhir.
Posisi tagan ketika tahiyat awal adalah sebagaimana dalam hadits yang ada dari Abdullah bin Umar ra, ia berkata:
كان إذا جلَس في الصلاةِ ، وضَع كفَّه اليُمنى على فخِذِه اليُمنى . وقبَض أصابعَه كلَّها . وأشار بإصبَعِه التي تلي الإبهامَ . ووضَع كفَّه اليُسرى على فخِذِه اليُسرى
“Jika Nabi Saw duduk (tahiyat), beliau meletakkan telapak tangan kanannya di atas pahanya yang kanan. Kemudian menggenggam semua jari tangan kanannya, kemudian berisyarat dengan jari telunjuk yang ada di sebelah jempol. Dan beliau meletakkan tangan kirinya di atas paha kiri.” (HR. Muslim). Dengan Jari jari dihimpun kecuali jari telunjuk dan Ibu jari, jari telunjuk berisyarah dengan diangkat saat membaca “ Asyhadu Alla Ilaha Illaloh” dan tidak menggerak gerakan (bahkan makruh hukumnya kalau menggerakan menurut madzhab kami), isyarah hanya oleh jari tangan kanan tidak dengan yang lain (tangan kiri) dan jari telunjuk itu diangkat sampai salam, riwayat lain dari Ibnu Umar ra :
وأشار بأُصبُعِه الَّتي تلي الإبهامَ إلى القِبْلةِ ورمى ببصرِه إليها
“… beliau berisyarat dengan jari telunjuknya yang ada di sebelah jempol, ke arah kiblat, dan memandang jari tersebut.” (HR. Ibnu Hibban) dan masih dari riwayat dari Ibnu Umar ra berikut:
أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم ، كان إذا قعَد في التشَهُّدِ وضَع يدَه اليُسرى على رُكبتِه اليُسرى . ووضَع يدَه اليُمنى على رُكبتِه اليُمنى . وعقَد ثلاثةً وخمسينَ . وأشار بالسبابةِ
“Jika Nabi Saw duduk untuk tahiyat, beliau meletakkan telapak tangan kirinya di atas lutut kirinya. Dan beliau meletakkan tangan kanannya di lutut kanannya. Dan jarinya membentuk lima puluh tiga, sedangkan telunjuknya berisyarat ke kiblat.” (HR. Muslim), setelah tahiyat awal maka musholli (orang yang sholat) naik lagi untuk menyelesaikan rokaat berikutnya disunahkan mengangkat tangan ini mengacu pada hadits yang telah dibahas diawal yaitu dari riwayat Ibnu Umar ra dan Abu Said As-sa’idi “kemudian ketika bangun dari rokaat kedua, Rosululloh Saw bertakbir dan mengangkat kedua tangannya hingga lurus dengan bahu beliau, sebagaimana beliau bertakbir ketika membuka sholat” (HR Abu Daud dan yang lainnya dengan sanad yang shohih).